Referendum Turki: Mengakhiri Dominasi Militer dan Sekulerisme

Pertempuran antara kaum liberal sekuler dan Islam konservatif di Turki terus berlangsung, dan saat ini malah memasukki babak baru ketika Sabtu akhir pekan kemarin, Turki akhirnya mengadakan referendum. Waktu pengambilan suara ini jelas bukan suatu kebetulan. Tanda berakhirnya kekuasaan militer di Turki?

Dan pertempuran itu berakhir dengan kemenangan AKP yang mendapatkan dukungan 58 persen dari rakyat Turki yang mendukung perubahan konstitusi dan hanya 41 persen menolak. Dengan hasil ini segala dominasi militer yang otokratis yang mengaku sebaga penjaga sekulerisme Turki telah berakhir.

Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan menyebut bahwa ulang tahun ke 30 dari kudeta terakhir militer Turki sebagai pengingat dari periode represi yang brutal, ketika ratusan ribu orang ditangkap dan disiksa, parlemen dihapuskan, dan partai politik dan serikat buruh dilarang.

Reformasi a la Erdogan, secara luas dipandang sebagai langkah awal menuju konstitusi Turki, dengan jelas bermaksud untuk membatasi kekuatan politik militer dan mengambil alih pengadilan sekuler yang selama ini mendominasi menjadi di bawah kendali Partai Keadilan & Pembangunan (AKP).

Lebih penting lagi, referendum telah kembali memicu perjuangan antara sekularis dan konservatif agama selama beberapa dekade; inilah mungkin saatnya menggabungkan modernitas, demokrasi dan Islam.

Salah satu negara demokrasi terbesar di dunia dengan mayoritas Muslim itu tak pelak tengah berjuang untuk menjaga keseimbangan antara sekularisme Barat yang berbahaya dan kebangkitan Islam ortodoks.

Yang menyedihkan, sama seperti dengan di negara-negara lainnya, di Turki politik selalu menjadi kompetisi yang rumit antara demokrat dan otokrat; pro-Eropa dan kaum nasionalis; pedagang bebas dan proteksionis; aktivis sipil dan militer; elit baru dan lama. Namun yang mendasari perjuangan kekuasaan di Turki adalah konfrontasi yang tak pernah terselesaikan antara pendukung negara sekuler modern dan orang-orang yang menyerukan pembentukan kembali hukum Islam.

AKP jelas berakar dalam Islam politik, tetapi juga sekaligus menjauhi label Islam, sebuah trend yang tengah terjadi pada partai-partai Islam di seluruh dunia. Sebaliknya, partai itu bersikeras bahwa AKP lebih dari kesetaraan antara Muslim dan Demikrat Kristen di Eropa.

Berkuasa sejak tahun 2002, AKP menyebtukan bahwa reformasi konstitusional yang diusulkan akan meliberalisasi konstitusi Turki, memperkuat demokrasi dan mengakhiri intervensi militer dalam politik.

AKP juga akan membuat Turki lebih dekat untuk memenuhi persyaratan keanggotaan Uni Eropa.

Paket referendum itu sendiri akan merestrukturisasi pengadilan sekuler yang selama ini mendominasi dengan menambahkan lebih banyak hakim Mahkamah Konstitusi, membatasi kerja mereka di kantor dan memungkinkan parlemen untuk menunjuk beberapa hakim yang lain.

Reformasi juga akan mengurangi kekuasaan pengadilan militer dan memberlakukan pengadilan-pengadilan sipil untuk mengambil bagian. Selain itu, reformasi akan menghapus pasal konstitusi tahun 1982 yang melarang penuntutan terhadap para jenderal yang seharusnya bertanggung jawab atas kudeta tahun 1980.

Militer Turki seperti diketahi telah melancarkan setidaknya tiga kali kudeta sejak tahun 1960, dan memaksa pemerintah sipil untuk mengundurkan diri di tahun 1997.

Dengan reformasi maka melarang partai politik, sesuatu yang juga hampir menimpa AKP dua tahun lalu ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan hanya satu partai saja yang harus berkuasa dalam sistem sekuler Turki, akan menjadi sulit dan akhirnya harus disetujui oleh parlemen. Paket reformasi juga memberikan hak tawar-menawar kolektif kepada para pegawai negeri sipil, namun bukan hak untuk mogok.

Mr Erdogan’s lawan merek perubahan yang merebut kekuasaan, mengatakan tujuannya adalah untuk memutar kembali sekularisme secara diam-diam.

Paket reformasi AKP ini, yang dipaksakan melalui parlemen pada bulan Mei, akan melemahkan sistem Turki dan dengan sendirinya akan melengkapi penaklukan Erdogan terhadap militer.

Para kaum sekuler jelas takut perubahan konstitusional ini akan memperpanjang kontrol pemerintah atas semua lembaga negara dan membuat Turki semakin pro terhadap kebijakan Islam.

Kemal Kilicdaroglu, pemimpin oposisi utama Partai Republik Rakyat (PRR), dengan sinis mengklaim bahwa Erdogan "meratap untuk bisa jadi presiden, pembicara parlemen, gubernur dan kepala polisi, tetapi bukan hakim tunggal."

PRR kemudian dengan sengaja memasang berbagai papan iklan besar di semua tempat dengan model seorang wanita berpakaian dengan memakai jilbab, dengan sebuah tulisan yang provokatif, mendesak rakyat untuk tidak memilih sebuah partai yang "jika Anda tidak ingin dipaksa untuk berpakaian seperti biarawati."

Peradilan Turki telah bentrok secara teratur dengan AKP, menolak upaya pemerintah untuk mencabut larangan mengenakan jilbab di universitas negeri di tahun 2008, dan hampir melarang partai itu mencampuri konstitusi sekuler, pada tahun yang sama.

Pendahulu AKP, Partai Kesejahteraan, dinyatakan inkonstitusional dan dilarang pada tahun 1998.

Erdogan sendiri dipenjarakan pada tahun 1998 dan untuk beberapa waktu dilarang memegang jabatan publik setelah dia membaca sebuah puisi "Islam" di Istanbul.

Salah satu bait yang ketika itu dikatakan oleh Erdogan adalah, "Mesjid adalah barak kami, kubah adalah helm kami, menara adalah bayonet kami, dan keyakinan kami adalah para prajurit kami."

Perjuangan kaum sekuler terhadap kelas menengah konservatif, yang menjadi tulang punggung AKP, telah mengubah perdebatan konstitusional.

Sebuah "Ya" dari referendum suara akan meningkatkan peluang AKP terhadap pemilihan ulang dan memperkuat kekuasaan Erdogan sebagai perdana menteri.

Bulan-bulannye telah mempolarisasi negara dan memicu perdebatan yang memecah belah atas posisi Turki di dunia internasional. Dipastikan, saat ini beberapa negara tengah ketar-ketir menunggu hasil referendum.

Erdogan sendiri dengan gamblang menuduh partai-partai oposisi telah menggunakan "disinformasi dan propaganda hitam."

Dia menggambarkan referendum sebagai kesempatan untuk menolak warisan dan intervensi militer, yang muncul lagi tahun ini ketika jaksa umum menangkap 49 perwira tinggi atas tuduhan merencanakan kudeta lain.

Para investigator mengklaim bahwa mereka menemukan adanya konspirasi, dengan nama kode Operasi Sledgehammer, di mana kaum ultra-nasionalis merencanakan kudeta dengan membuat kekacauan melalui pembunuhan dan serangan terhadap Islam, seperti mesjid.

Tidak seorang pun dinyatakan bersalah. Dokumen militer bersikeras menyebutkankan tuduhan-tuduhan itu dibuat untuk permainan perang militer, bukan kudeta.

Partai-partai oposisi menuduh Erdogan menjadi otokratik dan mengatakan AKP dibengkokkan menjadi pementasan sebuah "kontrarevolusi" atau "kudeta Islamis." Tak pelak, referendum terhadap AKP mungkin akan mengakhiri krisis identitas Turki selama ini? (sa/nationalpost.)