Reuni 212, Antara Politis dan Perlawanan Umat Islam

Masih ada yang berpikir reuni 212 tidak ada hubungannya dengan perlawanan ini? Meski tidak perlu ada statemen dan narasi politik. Apakah itu sah? Sah. Legal dan normal. Tak ada aturan yang dilanggar. Anak gaul bilang: biasa aja keles…

Reuni 212 tahun 2018 menjadi ajang politik Pilpres 2019 adalah hak demokrasi ummat Islam yang anti Jokowi, begitu kata Bachtiar Nasir. Salah satu inisiator dan tokoh sentral Aksi 212.

Supaya tampak tegas sebagai perjuangan moral, narasinya mesti ditata seelegan mungkin. Misal, tidak menyinggung pilpres 2019. Tak ada narasi dukung mendukung capres-cawapres. Tak mengundang dan tak memberi panggung buat para politisi. Cukup kritik kebijakan penguasa yang tidak pro umat dan pro rakyat. Terutama soal ekonomi dan tenaga kerja. Kritik ketidakadilan hukum. Kecam kebijakan penguasa yang mengancam kedaulatan NKRI. Ini akan jadi pesan moral yang elegan.

Tapi, ada juga yang bilang itu agenda HTI yang terselubung. Mau merubah Pancasila jadi negara Islam. Waduh. HTI lagi, HTI lagi. Hebat kali ormas yang sudah ducabut ijinnya ini. Orang makin curiga, apakah ini tujuan ijin HTI dicabut? Untuk dijadikan icon permusuhan. Nah, yang begini ini karena belum minum obat. Kurang tidur, jadi masih ngigau. Khayalan tingkat dewa.

Kepada orang macam ini perlu kasih nasehat: bahwa semua polarisasi sosial selama ini “hanya” dan “semata-mata” untuk pertempuran pilpres 2019. Gak ada hubungannya dengan HTI, gak ada kaitannya dengan Syariah Islam, gak ada urusannya dengan Pancasila dan NKRI. Murni urusan pilpres. Jangan ikut-ikutan jadi anak bangsa yang gak mutu, larut dengan isu-isu “katrok” macam itu.

Agama kok dibawa-bawa? Agama kok dipolitisir? Itu dari zaman Orde Lama bung. Apakah Masyumi, Parmusi, Partai NU, Parkindo, dan sekarang PKB, PPP, PAN, PBB dan PKS tidak bawa-bawa agama? Pakai kiyai untuk dapat dukungan umat Islam. Kampanyenya juga menggunakan ayat dan hadis. PPP malah pakai gambar Ka’bah. Simbol agama bukan? Yang cerdas dikit gitu loh…

Membawa agama dalam urusan politik, tidak hanya boleh, tapi keharusan iman. Soal ada bias, dimana ada pihak yang memanfaatkannya, itu tak bisa dihindari. Dimana ada padi, disitu tumbuh rumput. Cabut rumputnya, jangan bakar padinya. Apalagi agama, Pancasila juga sering dipakai oleh kelompok tertentu untuk kepentingan politik praktis dan pragmatis. “Aku Pancasila”, “Aku NKRI”, sok sok an. Sama aja!

Dari cerita ini, cukup untuk menjawab mengapa Reuni 212 diadakan? Agenda utamanya adalah perjuangan moral. Sarananya adalah “ganti presiden”. Sudah jelas? Itu legal, sah, dan normal-normal saja. Sebuah dinamika sosial dan politik yang wajar. Bagian dari pertempuran yang konstitusional. Dijamin Undang-undang.

Jangan sekali-kali dihalangi, apalagi dilarang. Ini justru akan memicu gelombang untuk menjadi lebih besar. Tidak hanya besar jumlah massanya, tapi juga perlawanan dan pengaruhnya. Arus massa akan semakin deras jika ada penekanan.

Bagi istana, ini dilematis. Dicegah, makin besar. Dibiarkan, juga tetap besar. Galau, itu pasti. Tapi, nampaknya spanduk-spanduk sudah bertebaran menghadang. Sejumlah orang jumpa pers dan mengancam. Beberapa bus kabarnya juga membatalkan pesanan. Maulid Nabi di Istiqlal sudah direncanakan sebagai tandingan. Entah apa lagi. Dari kaca mata politik, ini blunder. Strategi yang kurang cerdas. Apa strategi cerdasnya? Persuasif! Merangkul, bukan memukul. Bukannya sudah dilakukan? Betul. Tapi, caranya sering keliru, dan kurang bersabar. Akibatnya? Selalu blunder! Langkah selalu blunder inilah yang mengancam nasib istana di pilpres 2019. [swa]

*) Penulis: DR. Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa