Rezim Tak Berperasaan

Solusi justru menimbulkan masalah baru, yaitu dengan menaikan tarif BPJS. Tentu rakyat ikut meradang. Efektifkah kebijakan yang menambah berat beban rakyat ini? Entah, tapi memang kita sedang menikmati rezim yang tak berperasaan.

Ade Armando, Abu Janda, atau Sukmawati terus mengusik umat dengan omongan seenaknya yang dinilai menodai agama. Laporan hukum dilakukan, tetapi tak ada langkah signifikan dari aparat yang semestinya didukung oleh Pemerintah. Ada pembiaran mempermainkan agama. Ulama dan umat kesal melihat pembiaran seperti ini. Perasaan umat Islam terus diusik.

Rupanya kehidupan berbangsa dan bernegara berada dalam fase “jengkel dan mengurut dada” menghadapi rezim yang tak berperasaan.

Ma’ruf Amin ulama yang berubah menjadi umaro juga mulai macam-macam. Setelah mengubah sikap soal BPJS, berubah juga soal Ahok sumber masalah yang perlu “dihabisi” menjadi bagian tim penempatan Ahok di Komut Pertamina, lalu yang terakhir meminta Pemda dan Polisi mengawasi masjid soal konten “kebencian”. Rupanya ia juga hilang perasaan keumatannya. Ada yang menyebut “mantan” kiai segala dalam merespons perubahan sikap setelah masuk menjadi bagian “inti” dari rezim Jokowi.

Kritik publik pada Menteri Agama yang jago “semprot”, Menteri Dikbud yang pakar “ojek”, Menko PMK soal sertifikat pra nikah, Menko Maritim dan Investasi yang “serba Cina” atau kepada menteri-menteri yang lain, nampaknya tak akan digubris. Presiden pun menafikan hukum dengan bahasa mengecam Indonesia sebagai “Negara Peraturan” lalu mengenalkan “Omnibus Law” untuk menerobos banyak aturan.

Perjalanan demokrasi di daerah-daerah yang bersusah payah telah membuat Peraturan Daerah akan segera dibuldozer dengan dingin. Rezim memang tak berperasaan. Ditambah lagi dengan keinginan jabatan tiga periode, padahal periode kedua saja baru mulai.  Sementara periode pertama yang lalu sudah bikin banyak gaduh dan keruwetan.

Ketika perasaan keumatan dan kerakyatan diabaikan  dan yang ada adalah perasaan kekuasaan sendiri (otokrasi) atau kelompok (oligarkhi), maka Indonesia sebagai negara demokrasi benar-benar sedang terancam. Ideologi dan Konstitusi dimanipulasi.

Kekayaan dan kekuasaanpun telah habis dibagi bagikan  kepada “teman-teman” sendiri.

L’etat c’est moi–Negara adalah Aku! (end)

M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik