Robohnya Boneka

Jokowi, alih alih mau menjebak Prabowo soal unicorn – di mana spelling Jokowi terdengar yunikon, kurang jelas lalu dipertegas Prabowo – yang terjadi justru jadi bulan-bulanan media sosial. Jokowi dianggap tak paham soal bisnis unicorn.

Soal tuduhan penguasaan tanah lebih parah lagi. Jokowi membongkar kepemilikan tanah Prabowo di Kaltim dan Aceh. Mungkin Jokowi berharap publik langsung benci Prabowo yang dicap sebagai tuan tanah, ternyata tidak berhasil. Prabowo langsung klarifikasi saat itu juga. Apalagi ada pernyataan dari Wapres Jusuf Kalla yang menyatakan bahwa tanah Prabowo tak ada yang bermasalah.

Tampaknya upaya Jokowi untuk membenturkan si kaya dan si miskin, kandas.

Apa yang dialami Koma berbeda jauh dengan apa yang dialami Prabowo Sandi.

Lihat saja antusiasme warga dalam mendukung Prabowo Sandi.

Gendis, seorang anak gadis di Medan sengaja membuka celengan untuk membantu kampanye Prabowo.

Ada pula emak-emak di Bekasi yang memanjat tembok rumahnya sendiri memasang spanduk bergambar Prabowo Sandi.

Di Situ Gintung Pondokcabe lain lagi, warga berjalan kaki 10 km menghadiri kampanye Prabowo. Ia jalan kaki bukan tak punya kendaraan, tapi ia ingin menunjukkan kepada masyarakat luas betapa besarnya semangat untuk mengubah keadaan. Mereka rela berkorban demi sebuah cita-cita, ganti rezim.

Penolakan masyarakat Indonesia terhadap rezim ini bukan pada tingginya harga sembako semata. Sebab masyarakat kita sudah terbiasa hidup prihatin sejak zaman Belanda hingga kini. Persoalannya adalah harga diri dan keyakinan umat Islam yang dikoyak-koyak, termasuk arogansi para pejabatnya.

Setiap saat kita lihat betapa pongahnya pejabat kita. Simak saja pernyataan-pernyataan seperti Menteri Rudiantara, Enggartiasto Lukito, Menko Luhut Panjaitan, Puan Maharani, dan menteri- menteri lainnya.

Belum lagi para Kepala Daerah, bahkan camat semua perilaku dan statemennya arogan.

Bahkan Jokowi sendiri melontarkan pernyataan yang kePAUD-PAUDan, saat dikritik soal panjang jalan yang keliru besar. Jokowi membalas kritikan itu dengan bahasa yang super nyinyir, “Kalau tidak percaya, ukur sendiri jalannya.” Ampun.

Yang paling menyakitkan adalah akidah masyarakat Indonesia yang dilecehkan. Pengejaran dan pemenjaraan terhadap ulama dan tokoh Islam nyaris tak ada hentinya. Bahkan munajat 212 yang khidmat dan penuh kedamaian coba diobok-obok. Untaian doa yang dibacakan Neno Warisman disoal. Sejak kapan rezim ini menjadi pengamat doa. Sejak kapan Kapitra Ampera tahu ke mana Tuhan pergi sehingga dengan pongah dia katakan Tuhan tidak ada di Monas.