Sampah: Antara Barus, Risma dan Anies

Sampah kaca dan kertas, harus diantar ke tempat tertentu. Di masukkan pada kontainer berbeda.

Dalam skala individual dan keluarga, persepsi tentang sampah merupakan pelajaran yang bersifat turun temurun dan berkembang. Jika orang tua sejak kecil mengajari anak untuk membuang sampah dengan baik, anak tersebut akan berkembang dengan tanggung jawab yang lebih besar. Anak-anak saya saat ini anti sedotan plastik. Adiknya yang lebih kecil selalu membawa tas belanjaan jika ke super market. Sejauh mungkin mereka menolak plastik.

Kedua, persepsi di lingkungan dan masyarakat. Di lingkungan ataupun di masyarakat dibutuhkan sebuah kesadaran kolektif. Ketika saya tinggal di Tebet, Jakarta, sampai 2017, beberapa rumah menyangkutkan sampah di dalam plastik kresek di pagar rumah. Kadangkala beberapa hari sampah itu tergantung di situ. Padahal setiap rumah mempunyai bak sampah.

Bisa jadi orang-orang itu adalah orang daerah yang mengontrak. Namun, karena lingkungan itu tidak terlalu bermasyarakat satu dengan lainnya, kontrol sosial kurang terjadi.

Tanpa kolektifitas, manajemen sampah di suatu lingkungan akan sangat bergantung pada pemerintah daerah. Apalagi jika lingkungan dimaksud merupakan area publik, seperti taman, sungai, danau dan pantai.

Ketiga, tanggung jawab pemerintah. Tanggung jawab pemerintah soal sampah akan berkurang drastis jika warganya peduli soal sampah ini. Berkurang bukan berarti gampang. Pemerintah mempunyai beban berat pertama adalah membantu kesadaran warganya, baik individual maupun kolektif.

Kuritiba, Brazil, adalah salah satu kota percontohan sekitar 20 atau 15 tahun lalu dalam manajemen sampah bantar kali. Pemeritah kota mengajak warganya tidak membuang sampah ke kali. Tapi ini tidak gratis. Setiap sampah warganya dibeli pemerintah, ditukar, dengan pohonan buah. Warga tersebut menanam pohon itu dan beberapa tahun sudah berbuah. Lalu buah itu dibeli pemerintah. Akhirnya bantar kali itu menjadi bersih, penuh pepohonan dan warganya mendapat penghasilan tambahan.

Di negara-negara maju, soal sampah ini sudah dimasukkan dalam kurikulum sejak taman kanak-kanak. Sejak usia dini mereka dibentuk untuk pro lingkungan hijau. Jadi pemerintah bertanggung jawab juga dalam membentuk karakter warganya.