Sekali Lagi, Regenerasi Kepemimpinan

Masalah regenerasi kepemimpinan menjadi topik kontroversial di negeri ini. Hal itu terlihat dalam perdebatan tentang batas usia pensiun untuk Hakim Agung dan desakan masyarakat Yogyakarta untuk menetapkan Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Gubernur seumur hidup sesuai dengan keistimewaan daerahnya. Bahkan, Partai pewaris Orde Baru, Golongan Karya (Golkar), ikut kerepotan mengontrol tuntutan regenerasi dari berbagai daerah.

Dalam artikel di harian Republika tentang Keharusan Regenerasi Kepemimpinan (20/8/2008), penulis menegaskan regenerasi sebagai keniscayaan alami (sunnatullah) dan kemestian sosial-politik agar masyarakat berkembang lebih berkualitas. Tanpa regenerasi terencana, masyarakat akan mengalami kejumudan dan terancam kehancuran dari dalam. Potensi positif dibungkam, inisiatif perubahan dan perbaikan dipandang sebagai bid’ah dan pemberontakan terhadap sistem mapan. Padahal, segelintir kelompok bercokol merancang perubahan sesuai dengan kepentingan sempitnya, mewariskan kekuasaan kepada anak-cucu atau kroninya.

Pengunduran diri Jimly Asshiddiqie selaku Hakim Konstitusi memberi hikmah tersembunyi. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu mundur atas inistiatif sendiri untuk menghilangkan kerikuhan sesama hakim dan karyawan MK. Intinya, Jimly ingin melempangkan jalan bagi Ketua MK yang baru, Mahfud MD, agar bekerja lebih optimal tanpa kendala psikologis apapun. Sikap ksatria yang patut ditiru tokoh lain. Ini contoh regenerasi paling telak, tatkala upaya membangun sistem diprioritaskan dari kepentingan pribadi dan kelompok.

Jimly mundur hanya karena rikuh terhadap sesama kolega dan bawahannya, meskipun tak ada kesalahan administratif atau pelanggaran hukum. Anehnya, ada banyak pejabat yang tidak rikuh dan tidak mau mundur, walaupun kasus hukum telah merusak kredibilitas institusinya. Contoh paling nyata adalah pimpinan Kejaksaan Agung yang dilanda kasus suap terkait pengemplang BLBI. Sejumlah pejabat teras Kejagung telah diberhentikan, namun Jaksa Agung tetap bersikukuh dalam posisinya dengan dalih tidak tahu-menahu dengan aksi kotor bawahannya.

Bila Jaksa Agung benar-benar tidak tahu sama sekali perbuatan haram stafnya, maka berarti kapasitas pengawasannya sangat lemah. Sebaliknya, bila Jaksa Agung benar-benar bersih dan mengetahui gejala penyelewengan stafnya, mengapa tidak dicegah sejak dini dan diberi peringatan keras? Semua jawaban atas pertanyaan publik itu harus dilakukan secara jujur dan transparan, jika perlu dengan pernyataan mundur dari jabatan. Walaupun belum menjadi budaya di negeri ini, aksi mundur demi memelihara kredibilitas lembaga sangat diperlukan. Sungguh kekanak-kanakkan dan tidak bertanggung-jawab, sikap pimpinan lembaga yang melemparkan penilaian kepada Presiden sebagai atasannya.

Pimpinan lembaga setingkat Kejagung seharusnya memiliki mekanisme penegakan disiplin dan penilaian kinerja yang ketat, karena tugas dan tanggung-jawabnya sangat vital bagi kehidupan bernegara. Jaksa Agung harus mampu menilai kinerja lembaga dan melakukan koreksi mandiri, tanpa perlu menunggu instruksi Presiden. Bila ternyata hal itu tidak dilakukan, maka ketegasan Presiden menjadi benteng terakhir. Wibawa pemerintah, bahkan wibawa penegak hukum secara umum akan hancur, hanya karena mempertahankan budaya ewuh-pekewuh, sopan-santun yang salah sasaran. Dalam konteks ini, regenerasi menjadi kata kunci, pimpinan yang mundur untuk menjaga kehormatan lembaga akan melahirkan apresiasi bawahan dan menumbuhkan spirit perbaikan di masa datang.

Menunda tindakan koreksi dengan harapan masyarakat akan segera lupa atau media massa mengurangi tekanan adalah sia-sia. Kelangsungan kerja sistem dan eksistensi lembaga jadi taruhan. Kasus serupa kita saksikan di lembaga penting semisal Bank Indonesia yang terlibat suap dengan anggota DPR, beberapa kementerian dan pemerintah daerah, termasuk Mahkamah Agung. Pejabat yang ingin mempertahankan kedudukannya selalu berdalih, “Kalau saya mundur, memang siapa yang bisa menggantikan dengan lebih baik? Jika saya mundur, apakah insititusi ini akan tetap eksis?”. Seolah-olah mereka menjadi penentu nasib negara ini.

Mereka mencoba mengelak dari takdir regenerasi. Seperti terungkap dalam debat tentang usia pensiun Hakim Agung, 65 atau 70 tahun. “Jika usia Hakim Agung dibatasi 65 tahun, maka MA akan bubar!”, ujar seorang pengacara sangat senior dengan nada menakuti-nakuti publik. “Semakin lanjut usia hakim, maka semakin bijaksana putusannya!”, ujarnya lagi berargumentasi. Fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya, agenda reformasi hukum macet di tengah jalan. Buktinya, MA menolak kehadiran Komisi Yudisial dengan otoritas penuh sebagai pengawas independen. MA juga enggan membeberkan prosedur penetapan biaya perkara peradilan yang diungkap BPK, padahal ini menyangkut hak warga Negara untuk mendapat layanan peradilan yang murah, mudah, cepat dan adil. Sementara hakim senior yang menanti masa pensiun banyak tergoda untuk mengumpulkan kekayaan dengan mengkomersialisasikan putusan.

Batas usia pensiun Hakim Agung lebih dini, misal 65 tahun, bagi bangsa di masa transisi seperti Indonesia adalah simbol paling kongkrit dari regenerasi di dunia peradilan. Sangat banyak hakim Pengadilan Negeri dan Tinggi yang patah arang di tengah jalan akibat terlalu lama antri masuk ke MA. Padahal, integritas dan pengalaman kerjanya tak diragukan. Belum lagi sejumlah akademisi dan praktisi hukum yang telah diakui masyarakat berdedikasi tinggi. Semua potensi itu membutuhkan sirkulasi jabatan yang cepat demi terwujudnya penyegaran aparat penegak hukum. Para hakim senior mestinya mengikuti jalan yang ditempuh Jimly (Jimly’s way) agar generasi baru bekerja lebih optimal, tidak berada di bawah bayang-bayang siapapun. Lapangan pengabdian untuk generasi senior sungguh banyak, tak hanya di lembaga publik.

Tuntutan masyarakat Yogyakarta lebih pelik lagi, bila dicermati dari aspek regenerasi. Selama ini warga Yogya sebagai penghuni kota pelajar dipandang representasi komunitas yang maju dan terbuka. Mereka menghadapi dilema di abad 21, yakni tinggal di sebuah “provinsi-kerajaan” (monarchic province) dalam sebuah Republik yang belum tuntas menjalani proses pembentukan Negara (state-building). Dengan tetap menghormati putusan pemerintah di awal masa kemerdekaan soal status istimewa Yogya, kini saat tepat untuk mendiskusikan format politik yang diinginkan.

Jika warga Yogya benar-benar menginginkan hidup di bawah kepemimpinan seorang “Raja”, maka “kerajaan” seperti apa yang dicita-citakan di abad informasi modern ini? Apakah raja yang bersifat absolut dan tidak tersentuh partisipasi dan kontrol publik? Ataukah, “monarki” yang bersifat terbuka dan demokratis, sehingga secara teknis sebenarnya tak terlalu beda dengan sistem “republik”? Siapakah yang akan menggantikan raja, apabila berhalangan tetap atau mangkat, dan bagaimana prosedur pengangkatannya? Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini harus tuntas dijawab dengan segera, dalam suatu peraturan daerah (atau regulasi Raja?), agar nasib Yogya sebagai kota pelajar tidak rawan terhadap kemungkinan konflik keluarga istana.

Alternatif kedua, jika rakyat Yogya dan Sri Sultan memilih untuk meleburkan diri sepenuhnya dalam Republik Indonesia, sehingga transformasi kerajaan berlangsung secara demokratis, maka hal ini merupakan kontribusi besar bagi kualitas keindonesiaan kita. Lewat berbagai survei, kita menyaksikan posisi Sri Sultan cukup dipercaya masyarakat untuk tampil sebagai calon presiden atau wakil presiden RI periode mendatang. Apabila Sri Sultan maju dalam pemilihan presiden nanti, apapun hasilnya (menang atau kalah), itu menandai bahwa “Raja Yogya” telah siap berkompetisi dengan rakyat jelata. Sehingga formasi kepemimpinan di provinsi Yogya mestinya juga bersifat kompetitif, bukan privilege dinasti tertentu.

Siapa yang mampu mendorong proses demokratisasi di Yogya? Tanggung-jawab utama pada partai-partai besar, seperti Golkar, yang seharusnya bangga memiliki aset tokoh sekaliber Sri Sultan. Ironisnya, Golkar tak antusias melirik Sri Sultan sebagai kandidat pemimpin nasional, karena memandang pengaruhnya masih terbatas di masyarakat Jawa. Begitu banyak faksi dalam tubuh partai beringin, sehingga posisi Sri Sultan cenderung terabaikan, dan malah didekati partai lain seperti PDI Perjuangan. Untuk konteks regenerasi, mestinya warga Yogya tak hanya melakukan pisowanan ageng menuntut pemerintah pusat (soal jabatan Gubernur), melainkan juga mendesak Partai Golkar agar menetapkan figur alternatif pemimpin nasional. Pimpinan Golkar juga tampak mengakomodasi aspirasi tokoh muda semisal Fadel Muhammad atau Yudhi Chrisnandi, hingga muncullah desakan dari berbagai daerah dalam Rapimnas.

Bila rakyat Yogya berhasil menggenapi proses transformasi dari kerajaan menuju republik sepenuhnya, maka hal ini merupakan salah satu puncak agenda reformasi yang dicanangkan gerakan mahasiswa 1998. Perluasan kultur demokrasi dan penghapusan feodalisme adalah aspirasi rakyat sesungguhnya.

Dari pelbagai fenomena kontemporer, kita menyimpulkan, inti masalah regenerasi terletak pada: inisiatif tokoh, penyesuaian organisasi (lembaga negara atau partai politik), dan perubahan kultur masyarakat. Tugas kolektif kita mengarahkan agar semua faktor itu bertemu pada momentum perubahan yang tepat di peringkat nasional.

*) Sapto Waluto, [email protected],

Direktur Eksekutif Center for Indonesian Reform (CIR)