Shamsi Ali: Bahaya Pengakuan Yerusalem Sebagai Ibukota Zionis-Israel

Eramuslim.com – Entah kata apa yang tepat untuk mengekspresikan keputusan Donald Trump mengakui Jerusalem sebagai Ibukota Israel. Beranikah? Nekadkah? Terobosankah? Atau boleh jadi karena kegilaan dan ketidak stabilan mental?

Keputusan Donald Trump ini oleh banyak kalangan dianggap memang keputusan “reckless” (sangat berbahaya) dan pencabulan nyata kepada upaya-upaya perdamaian yang telah diperjuangkan oleh pejuang perdamaian (peace warriors), seperti Ishak Rabin, Yasir Arafat, dan banyak lagi. Keputusan ini adalah pelecehan nyata terhadap upaya peradamaian di Timur Tengah.

Kita sadari bahwa konflik Timur Tengah, Israel-Palestina, menjadi sumber sentimen berbagai konflik di dunia, khususnya antara dunia Islam dan dunia Barat. Kebencian dan permusuhan, bahkan kekerasan-kekerasan timbul di mana-mana semuanya minimal terinspirasi oleh sentimen konflik Palestina-Israel. Dan salah satu isu terpenting, dan menjadi dasar sentimen agama di kedua belah pihak adalah isu Jerusalem atau Al-Quds dalam bahasa Arabnya.

Saya paham betul dari interaksi saya dengan komunitas Yahudi bahwa Jerusalem bagi mereka memang menjadi bagian dari iman. Bahwa Jerusalem adalah kota tua sekaligus simbol kejayaan masa lalu mereka. The Temple of Solomon yang diyakini terletak persis di bawah masjid Al-Aqsa itu adalah impian keagamaan bagi mereka. Kira-kira mirip keinginan seorang Muslim menatap wajah baginda Rasulullah SAW.

Sebaliknya Al-Quds, kata Arab dari Jerusalem, di mana masjidil Al-Aqsa berdiri juga menjadi bagian integral dari keimanan Islam. Tempat ini bagi orang Islam bukan sekedar terbangun di atas sejarah 3.000 tahun silam. Tapi diyakini sebagai kota akidah, sejak Ibrahim hingga ke anak-anak keturunannya. Bedanya adalah bagi kita memang relevansinya adalah akidah atau keimanan. Sementara umat Yahudi relevansinya adalah sejarah kejayaan etnis dan ras.