Siapa Yang Mau Makar Pak Kapolri?

Eramuslim.com – Pernyataan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian yang menyebut demo susulan pada 2 Desember mendatang berpotensi makar patut mendapat perhatian serius. Pasalnya, upaya makar kepada pemerintahan yang sah adalah rekayasa besar yang situasinya hanya bisa dikalahkan oleh perang.

Pernyataan Kapolri diamini Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang menegaskan prajuritnya bakal ikut mengawal keadaan, terutama untuk mengadapi kelompok yang berupaya menjatuhkan pemerintahan.

Tugas mengamankan negara memang berada di pundak Jenderal Gatot dan Tito. Akan tetapi jika hal tersebut harus dinyatakan secara verbal dan terbuka, hal itu pasti mempunyai makna dan implikasi lebih mendalam. Apalagi, pernyataan tersebut terlontar di tengah rencana demo besar-besaran yang digagas Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI itu.

ahok-titoMengapa tidak cukup operasi senyap?

Demo dengan nama Aksi Bela Islam jilid III pada 2 Desember mendatang memang dijadwalkan bakal lebih besar daripada aksi sebelumnya pada Jumat 4 November lalu. Jubir GNPF Munarman bahkan sesumbar jika Masjid Istiqlal terlalu sempit untuk menampung pendemo. Oleh karena itu, sebagai gantinya, mereka memilih Bundaran HI sebagai titik kumpul.

Namun, sebagaimana aksi sebelumnya, Munarman berjanji demo nanti tidak akan diisi orasi yang memprovokasi. Acaranya dijadwalkan shalat Jumat bersama di Bundaran HI, dilanjutkan dzikir, istighasyah, dan doa bersama.

Tajuk aksi kali ini adalah “Persatuan dan Doa untuk Negeri.” Jika memperhatikan pernyataan pria yang berprofesi sebagai pengacara tersebut, demo besar nanti tidak bisa disejajarkan dengan aksi kaos kuning di Malaysia, yang terinspirasi aksi kaos merah di Thailand.

Pada akhir Agustus 2015, puluhan ribu orang  menduduki wilayah Dataran Merdeka Malaysia untuk menggulingkan Perdana Menteri Najib Razak. Massa kala itu duduk rapi di tengah jalan, sambil mendengar para orator bergantian membakar semangat dari atas panggung yang penuh pengeras suara. Semua massa kompak memakai baju warna kuning.

Massa menguasai kawasan itu dengan menginap, tidur di tenda-tenda di tepi dan aspal jalan. Aksi seperti inilah yang secara denotatif lebih patut dikatakan sebagai upaya makar, yang kemudian gagal menurunkan Razak.

Hal sejenis sebelumnya terjadi di Thailand, ketika ribuan pendukung mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra bergerak untuk menggulingkan PM berkuasa, Abhisit Vejjajiva. Mereka sempat melumpuhkan Bangkok pada April 2010. Lagi, upaya makar ini tak membuahkan hasil.

Baik pernyataan Tito maupun Gatot justru dapat memperkeruh suasana. Mereka akan lebih bijaksana jika cukup melakukan operasi intelejen guna meredam bara panas yang dimungkinkan dapat membakar emosi massa.

Digulingkan melalui kudeta memang sangat menyakitkan. Akan tetapi, terlalu paranoid terhadap kebebasan bersuara dan demonstrasi yang dijamin UU adalah ciri-ciri kediktatoran.

Masyarakat yang dewasa dalam berdemokrasi justru mendapatkan legitimasi untuk menilai jika demo 212 dan dugaan potensi makarnya hanya dibesar-besarkan, dan dapat dijadikan momentum oleh pemerintah untuk merivisi sejumlah UU terkait stabilitas keamanan, seperti UI Intelijen.

Siapa hendak makar?

Motor penggerak demo tak bisa dilepaskan dari Front Pembela Islam (FPI) pimpinan Muhammad Rizieq Shihab atau biasa dipanggil Habib Rizieq. Pendakwah keturunan Arab ini memang tidak sekali sesumbar bakal melengserkan Presiden Jokowi.

Hal itu misalnya ketika mencuat isu pemerintah, melalui presiden, akan meminta maaf kepada PKI atas kejadian di masa lalu. Pernyataan Rizieq yang diucapkan dengan emosional ini banyak tersebar di media sosial, terutama Youtube.

Akan tetapi, apalah arti seorang Rizieq dengan FPI-nya dibandingkan dengan mayoritas Ormas Islam lain dan segenap elemen masyarakat yang lebih mencintai NKRI dalam kondisi damai dan harmonis; belum lagi ditambah kokohnya militer dan aparat keamanan serta dukungan mayoritas rakyat kepada mereka.

Harus diakui, memang berkeliaran pesan melalui aplikasi chatting seperti WhatsApp dari bekas kombatan yang menyerukan untuk memanfaatkan aksi Bela Islam tersebut untuk merebut kekuasaan. Akan tetapi, bukankah seruan-seruan seperti ini sudah bertebaran dari dulu?

Tidak cukupkah menganggap mereka sebagai onak di jalanan yang dengan mudahnya disingkirkan atau dilindas saja karena kita naik di atas sebuah tank.

Kapolri Tito memang tidak secara spesifik menyebut siapa-siapa yang bakal menunggangi aksi 212 untuk makar. Akan tetapi, dengan menghembuskan isu ini ke publik, situasi justru menjadi lebih menegangkan. Atau, memang skanario sengaja dibuat lebih dramatis demi tujuan-tujuan lain yang kita rakyat jelata tidak boleh tahu? (ts/rn)