Soeyanto Soe: Demonstrasi, Anies VS Risma

Eramuslim.com – TIAP kali terjadi aksi unjuk rasa yang jumlahnya masif, kita bersiap untuk melihat tindakan-tindakan agresif dari massa yang hadir. Minimal mereka membakar ban di jalan-jalan. Kita yang melihat dari layar kaca ataupun mendengar pemberitaannya, berdoa agar demonstrasi itu tidak bermuara pada kerusuhan.

Sayangnya jika jumlah massa yang berkumpul telah berjumlah puluhan ribu, umumnya terjadi letupan. Mengapa? Bisa jadi ada provokator tetapi pemicunya adalah lebih pada kelelahan yang mudah mencuatkan emosi.

Ketika kita berada di kerumunan massa, di tengah terik matahari, dikelilingi teriakan-teriakan yang membakar semangat, rasa letih tidak terlalu terasa.

Namun tanpa disadari oleh kerumunan itu, makin lama emosi mereka semakin memuncak. Meledakkan kemarahan yang akhirnya muncul tindakan-tindakan agresif. Bahkan bisa semakin brutal.

Hal itu juga yang kadang membuat aparat kehilangan kontrol. Pada sisi yang berhadapan, aparat harus menenangkan massa. Aparat harus menggiring mereka untuk fokus pada artikulasi tuntutan aksi dalam koridor yang tidak mengganggu ketertiban umum. Waktu yang terus berjalan, jam demi jam, membuat aparat kadang jengkel.

Di penghujung unjuk rasa, bentrok kadang tak terhindarkan. Untuk itulah diperlukan pelapis agar kedua pihak yang telah lelah ini bisa ditenangkan.

Aparat yang terlatih sebenarnya tahu bagaimana menjinakkan massa. Namun massa aksi juga tahu bahwa mereka tidak ingin mudah diredam. Mereka mencari celah. Melempar batu, kayu, botol, atau apapun. Memancing aparat yang bertameng untuk mengejar.

Jadi bila ada gerakan aksi massa yang jumlahnya puluhan ribu, sangat rasional letupan terjadi. Yang dapat kita lakukan adalah menekan angkara seminim mungkin.

Tidak semua peserta aksi itu memiliki emosi yang rendah setara. Mereka mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Mereka bukanlah sekumpulan orang-orang yang dilatih untuk satu komando berdemo. Sehingga mengorganisirnya tidaklah mudah.