Strategi Politik Iran di Jalur Gaza

Paska berakhirnya invasi brutal Israel ke Jalur Gaza, perlahan berbagai hal yang selama ini terselubung terkait kerjasama hitam eksekutor holocoust mulai tersingkap. Berbagai kalangan yang multi kepentingan secara pragmatis berupaya mengulur benang merah pembantaian di Gaza melalui pengeluaran statemen-statemen mengejutkan.

Di Harian As-syarq Al-Awasath edisi Kamis 22/01/2009, Menteri Luar Negeri Mesir, Ahmed Aboul Gheit menuding Iran bertanggungjawab atas seluruh konflik di kawasan Timur Tengah. Dalam koran mingguan al Wathan —media massa berbahasa Arab-Inggris yang spesifik menyoroti konstelasi Timteng terbit di Washington DC— Selasa, 27/01/2009, Aboul Gheit secara transparan menegaskan, "Iran dalang serangan Israel ke Jalur Gaza". Statemen yang sama juga dimuat Harian al Nahar terbitan Kuwait, 27/01/2009.

Indikasi tengah bangkitnya reinkarnasi hegemoni Dinasti Savafid di lembah Laut Kaspia itu semakin menimbulkan kekhawatiran banyak pihak. Savafid merupakan imperium perdana dan terbesar yang dikonstruksi penganut Syiah di daratan Persia antara tahun 1502-1736 M. Pada lembah ini pula telah terukir sejarah kegemilangan bangsa-bangsa yang acapkali kuasa memperangah dunia, dari semasa Kekaisaran Persia bermula oleh Cyrus II tahun 559 SM hingga masa kejatuhan Dinasti Pahlevi tahun 1979.

Tapi Iran lagi-lagi tetap menuai decak kekaguman atas terobosan spektakuler Ayatulloh Khomeini yang menggulingkan kekuasaan Reza Pahlevi melalui pagelaran eksekusi kolektif bernama Revolusi Islam Iran, 11/02/1979. Dan hal ini diakui oleh seorang Pemikir Islam Kontemporer dari Mesir, Dr. Muh. Imarah, bahwa revolusi itu telah menciptakan rangkaian keberhasilan, walaupun menurutnya tetap ada ancaman besar di balik revolusi dahsyat tersebut.

Revolusi selalu meniscayakan perubahan substansial dan sangat mendasar pada sistem pemerintahan atau keadaan sosial sebagai sebuah konsekuensi. Di Iran, Revolusi ’79 merupakan produk koalisi empat poros kekuatan raksasa, yakni nasionalis, nasionalis-Islamis, nasionalis-revolusionis, dan kubu tangguh Ayatulloh Khomeini. Said Al-Sabagh, Pakar Politik Iran di Kairo, menjelaskan fiksi rekonstruksi internal Iran antar poros ini mendominasi penancapan tonggak awal revolusi. Dalam penataan ulang Iran paska revolusi mengemukalah problema baru soal keputusan dilematis antara alternatif, memperluas penerapan sistem politik pengganti atau stabilisasi perekonomian nasional. Krisis perang saudara Iran-Irak (1980-1988) menjadi proyek tambahan yang menguji kesungguhan pengusung revolusi dan rakyat Iran sendiri untuk mampu menaklukkan keadaan kemudian bangkit bersama menyongsong era kegemilangan.

Palestina dalam Perspektif Revolusi

Proyek peruntuhan Dinasti Pahlevi telah dirintis setahun sebelum revolusi direalisasi melalui penguasaan kota-kota dan wilayah di Iran. Pengaruh politik luar negeri Amerika Serikat (AS) begitu mengakar pada tatanegara dan kebijakan Pahlevi. Tendensi tersebut benar dipahami pengusung revolusi sebagai akibat suksesnya lobi Zionis-Yahudi di AS yang kerap menelurkan kebijakan yang merugikan penganut Islam. Barangkali karena krisis Palestina tak bisa dilepaskan dari Yahudi, maka Khomeini pun menegaskan, "Salah satu target besar revolusi ini membebaskan kota Al-Quds dan tanah Arab, menyelamatkan Masjid Qubbatu Shakhrah, dan melakukan perlawanan terhadap penjajah-Zionis." (Bayan Al-Qaid Ayatulloh Khomeini, al-Bahtsu al-Isyraf, hlm. 255).

Sehari setelah pengambilan kekuasaan di Iran oleh poros revolusi pimpinan Khomeini, seluruh pejabat Kedutaan Besar Israel di Teheran diusir dari Republik Islam Iran. Pemerintahan baru itu menggantinya menjadi Kedutaan Besar Palestina dan menyerahkan mekanisme administrasi ke bangsa Arab. Sepertinya memang, pengusung revolusi menghendaki jalur konfrontasi menghadapi kebiadaban Yahudi. Pandangan mereka bahwa Zionis telah menggagahi hak kemanusiaan, menodai kehormatan Islam di Palestina, bahkan telah menganeksasi tanah milik rakyat Palestina. (Adnan Abu Sarahan, Ats-Tsaurah Al-Islamiyah Al-Iraniyyah, 2007).

Bila sasaran politik revolusi dicermati ulang, seperti yang pernah dilakukan analis Iran, Tafid Daud Abu Khair, pada majalah al-Munadhil, edisi 296 tahun 1999, terlihat ada enam bundel proyek revolusi 1979 —sebagian sudah terwujud— sebagai berikut: krisis Palestina (membebaskan Al-Quds dan memelihara tempat-tempat suci di Palestina); teritorial Lebanon (membebaskan Lebanon Selatan); piagam internasional (penegasan peranan PBB dan Majelis Umum); penyatuan bumi Irak (menjaga kedaulatan dan wilayahnya); konfrontasi Arab-Israel (Iran berperan mengkanal skenario politik AS dan Israel); serta fungsi Iran membangun hubungan baik dengan negara-negara Arab. Tafid ingin menegaskan, di atas krisis Palestina sesungguhnya terdapat proyek yang jauh lebih besar bagi Iran, yaitu kepentingan revolusi Iran menanamkan hegemoni Syiah di seluruh dunia.

Strategi Politik Luar Negeri Iran

Membicarakan strategi politik luar negeri Iran akan menghantar kita pada realita pentahapan sejarah yang terbagi menjadi empat dekade, sebagaimana paparan Dr. Birn Izdy, Mantan Petinggi di Kementerian Luar Negeri Iran, dalam bukunya, "Madkhal Ela Al-Siyasah Al-Kharigiyah Li-Gumhouriyat Eiran Al-Eslamiyah", 1999. Fase pertama: 1979-1980, dimana kubu liberal-konservatif memegang kebijakan neo-konservatif dalam upaya menjalin hubungan bilateral antara Iran dan masyarakat internasional. Fase kedua: 1980-1988, yang bisa disebut sebagai fase radikalis pola interaksi Iran kepada bangsa dunia tanpa mengindahkan mediasi pemerintahan, yang justeru mengakibatkan instabilitas dalam negeri Iran.

Fase ketiga: 1988-1997, menunjukkan sikap moderat, menerapkan pola santun strategi luar negeri Iran, dan obsesi memperbaiki serta meningkatkan harmonisasi hubungan bilateral. Presiden Hasyemi Rafsanjani bersama Menlunya Dr. Ali Akbar Vilayati berhasil menata kembali keretakan hubungan Iran dengan masyarakat dunia. Beberapa pointer yang dicapai, antara lain: eksistensi pemerintahan Revolusi Iran mendapat pengakuan negara-negara Kawasan Teluk Arab; pencabutan isolasi masyarakat internasional atas Iran paska revolusi; penerimaan Barat dan dibukanya pangsa pasar Eropa; legalisasi dunia atas revitalisasi angkatan perang Iran; penyebaran pemikiran revolusi melalui kran kebudayaan; dan, Iran diajak menyelesaikan krisis di Afghanistan dan kawasan Timteng.

Fase keempat: 1997-2005, semasa Dr. Muh. Khatami berkuasa. Pandangan reformisnya seringkali menimbulkan konflik internal dengan kubu konservatif yang loyal memelihara amanat revolusi Syiah. Ini pulalah yang menjadi akar carutmarutnya pemerintahan dalam negeri Khatami. Lain halnya mengenai iklim politik luar negeri Iran, Khatami benar-benar lentur terhadap Barat bahkan untuk pertama kalinya ia mengadakan kontak politik dengan Moshe Katsav, Presiden Israel, April 2005, hal yang tak pernah dilakukan pendahulunya semenjak revolusi ditabuh.

Selain paparan Dr. Birn Izdy, ada imbuhan dari Adel El-Gogary, Pemred al Ghad al Araby, (Adel El-Gogary, "Ahmadinejad; Rajulun fi Qalbi al-Ashifah", 2006) yang menyoroti sosok kharismatik Ahmadinejad. Dan, ini menjadi Fase kelima: 2005-2009, dimana Nejad mengambil strategi politik luar negeri berseberangan dengan Khatami. Ahmadinejad dikenal loyalitasnya memegang ajaran Imam Khomeini terlebih menyoal konfrontasi terhadap Zionis-Yahudi. Satu hal yang barangkali berbeda, tulis El-Gogary, bahwa Iran pada tanggal 29 Oktober 2005 mengeluarkan statemen akan menaati piagam PBB untuk tidak menggunakan kekuatan militer menyerang negara lain, tanpa terkecuali Israel. Iran bisa ditebak hanya memainkan penyelesaian damai berseteru dengan Israel.

Iran dan Holocoust Gaza

Tudingan Aboul Gheit —Menlu Mesir— atas Iran sarat bernuansa politik. Gheit melampirkan dalih sinyalemen dukungan Iran atas Hizbullah pada Perang Israel-Hizbullah, Juli 2006 silam. Serangan Israel ke Gaza kali ini hanya rentetan perang Lebanon itu. Tudingan Gheit menguat manakala kapal laut Iran yang mengangkut bantuan kemanusiaan bagi rakyat Gaza tiba di perairan Mesir (26/01), Iran sendiri telah mengumumkan keinginannya mengadakan rekonstruksi di Jalur Gaza. Dr. Wahid Abdul Majid, analis Mesir di al Arabiya, berpendapat bahwa hal yang selayaknya lumrah terkait bantuan kemanusiaan Iran tersebut bila kemudian dipaksa-paksakan akan gampang melahirkan persepsi aneh.

Kendati demikian, Holocoust Gaza tidak dipungkiri menorehkan nilai positif bagi Iran dalam rangka merekatkan kembali koalisi Iran-Suriah yang belakangan merenggang. Muh. Abbas Naji, analis di Islamonline, 18/01/2009 mengatakan, sebelumnya Suriah dimediasi oleh Turki akan menggelar perundingan langsung dengan Israel terkait kasus dataran tinggi Goulan. Di balik perundingan itu terselip propaganda melerai koalisi Suriah-Iran. Invasi militer Israel ke Gaza 27/12/2009 silam kontan membuyarkan rencana perundingan itu. Iran tampaknya —untuk beberapa waktu ini— lebih memprioritaskan penyelamatan program pengayaan nuklirnya, pengokohan kerjasama ekonomi Iran-China di Benua Hitam Afrika, dan menggelembungkan dominasi Syiah di Irak paska kesepakatan damai (AS-Iran-Irak) Desember 2008, ketimbang memberangus Israel yang kini diayomi penguasa baru AS, Barack Obama, yang tentu mengandung resiko besar. []

Profil Penulis :

Taryudi, Tengah merampungkan master pada program pasca sarjana Univ. Al-Azhar Kairo. Alamat District Nasr City, Cairo. Warga Kisaran, Kab. Asahan Sumatera Utara Medan. Selain kuliah, juga aktif di KAMPUS KEHIDUPAN di lembaga Kajian Sosial-Politik dan Dunia Islam Studi Informasi Alam Islami (SINAI) Mesir. Email : [email protected]