Sudan : Korban Keserakahan Asing dan Salibis

Sampai detik ini dunia Islam masih kerap dilanda berbagai konflik. Bila kita lihat lebih dekat, ternyata konflik yang terjadi lebih banyak disulut oleh pihak asing yang memiliki kepentingan.

Sebut saja kasus yang menimpa Sudan. Jaksa Penuntut International Criminal Court (ICC), Louis Moreno Ocampo menuduh Presiden Sudan Umar Basyir melakukan genosida di Darfur.

Sebelumnya kasus ini pernah mencuat pada 14 Juli 2008, namun karena tidak berhasil, kasus yang sama kini diangkat kembali.

Kasus ini ironis sekaligus memalukan. ’Ironis’ karena ICC tidak peduli dengan genosida Gaza yang mengguncang dunia. Padahal kejahatan perang Israel sangat jelas dan tidak butuh usaha keras membutktikannya. Namun ICC tidak menghukum Israel, bahkan justeru rela mati-matian mencari bukti kejahatan perang Umar Basyir yang dituduh melakukan kejahatan perang secara tidak langsung, yang menelan korban sekitar 300.000 jiwa (data versi PBB).

Jika ICC berdalih bahwa Israel bukan anggota ICC sehingga ICC tidak berhak menghukumnya, bukankah Sudan juga bukan anggota ICC? ’Memalukan’.  Karena lagi-lagi kasus seperti ini menunjukkan hipokrisi Barat yang memperalat hukum internasional untuk kepentingannya. Walaupun harus terus menerapkan standar ganda.

Untuk mengulas penyebab ambisi ICC menghukum Umar Basyir, terlebih dahulu penulis memetakan konflik internal Sudan. Konflik internal inilah yang kemudian dimanfaatkan Barat untuk terus mewujudkan keserakahannya, meraup kekayaan alam Sudan dan menjalankan misi Salibis.

Peta Konflik Internal Sudan

Ada dua akar konflik utama yang melanda Sudan: Pertama, wilayah Selatan Sudan yang mayoritasnya beragama Kristen. Mereka mengancam akan memerdekakan diri karena Umar Basyir menerapkan syariat Islam. Kedua, Konflik Darfur yang disinyalir terjadi karena ketidakseriusan pusat (Khourtum) dalam mensejahterakan warga Darfur. Padahal Darfur merupakan daerah kaya yang seharusnya hidup sejahtera.

Terkait konflik di Darfur, selain kesejahteraan, ada penyebab konflik internal lainnya, yaitu konflik antar suku. Penduduk Darfur berjumlah sekitar 6 juta jiwa terbagi menjadi tiga wilayah, Darfur Barat, Darfur Selatan, dan Darfur Utara. Di wilayah yang heterogen seperti ini terdapat 12 bahasa dan banyak suku. Di antara suku-suku ini ada yang menetap dan masih ada yang masih nomaden (berpindah-pindah), untuk menemukan tempat yang lebih baik, subur, dan lainnya. Sehingga perebutan wilayah subur untuk pertanian ketika musim kemarau tiba sering memicu perang antar suku.

Dr. Raghib as-Sirjani dalam buku Baina at-Tarikh wa al-Waqi’ mengatakan, ”Riak-riak api konflik internal Darfur seperti ini biasanya bisa diselesaikan oleh Majlis Adat. Namun konflik Darfur membara ketika bertebarnya isu ketidakadilan pusat yang dimanfaatkan oleh pihak asing.” Hal ini terbukti dengan muncul kelompok-kelompok bersenjata.

Khususnya kelompok bersenjata dari dua suku besar di Darfur, yaitu The Sudan Liberation Army (SLA) yang dibentuk oleh suku Fur, dan The Justice and Equality Movement (JEM) dibentuk oleh suku Zaghawah yang mendapat sokongan dari negara tetangganya, Chad.

Campur tangan Chad ini disinyalir karena Presiden Chad, Idris Deby memiliki garis keturunan dari suku Zaghawah yang sebagiannya mendiami Darfur. Hal ini kemudian berimbas terhadap renggangnya hubungan kedua negara (Sudan dan Chad).

Berbagai konflik internal ini dimanfaatkan Barat. Misalnya, konflik Sudan Selatan yang penduduknya kebanyakan umat Kristiani dimanfaatkan Barat untuk mengirim LSM, sehingga mereka mampu membangun gereja di Darfur. Namun konflik Sudan Selatan ini mulai berakhir ketika pemimpin kelompok bersenjata dari kubu Selatan—yang tergabung dalam Sudan People’s Liberation Army (SPLA)—John Garank tewas dalam kecelakaan helikopter di Kenya tahun 2005.

Sehingga untuk semakin meredakan konflik, pada tahun ini juga diadakan perjanjian Nefasya antara Sudan Selatan dan Pusat.

Uniknya, setelah ditelusuri, ternyata Jhon Garank adalah kader terbaik yang mengenyam pendidikan di Tel Aviv dan dididik langsung oleh Mossad dan CIA guna menjalani misi Salibis terselubungnya di Sudan.

Sedangkan konflik internal di Darfur dimanfaatkan Amerika dengan memasokkan senjata untuk para pemberontak. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh spesialis Sudan Prof. Zaki al-Buhairi dalam Seminar Sudan-Mesir beberapa hari lalu yang diadakan di Kairo, sebagaimana yang dilansir oleh situs Aljazeera.net.

Dalam koran Syuruq terbitan Kairo disebutkan bahwa konflik Darfur telah menelan korban 300.000 jiwa. Angka ini versi PBB. Sedangkan Khourtum mengatakan bahwa jumlah korban tidak lebih dari 10.000 jiwa akibat konflik internal antar suku di Darfur.

Kepentingan Asing

Setidaknya ada empat kepentingan asing di balik tuduhan yang selama ini mendera Presiden Sudan, Umar Basyir. Pertama, melalui kasus genosida Darfur ini, ICC ingin mengalihkan pandangan dunia dari kejahatan perang yang menimpa negara-negara muslim. Misalnya permasalahan Irak, Afghanistan dan yang baru saja usai terjadi yaitu genosida Gaza di Palestina.

Agresi terlaknat Israel ke Jalur Gaza itu tak pernah disebut-sebut ICC sebagai bagian dari kasus yang diperkarakan. Kalau pun Umar Basyir terbukti bersalah, maka Olmert dan penjahat perang Israel lainnya harus lebih dahulu dimejahijaukan.

Namun kepentingan seperti ini adalah lagu lama yang mudah diketahui, sehingga Basyir langsung mengirimkan utusannya menemui Ismail Haneya, dan Ismail Haneya pun langsung mengagendakan pertemuan khusus dengan Umar Basyir (Aljazeera.net: 4/3/09).

Alih-alih mengalihkan perhatian dunia, keputusan ICC ini justru semakin menguatkan persatuan dunia Islam.

Kedua, Barat salibis berupaya mencegah bangkitnya kekuatan Islam di Afrika, khususnya di Sudan. Presiden menjabat, Umar Basyir pernah menyatakan niatannya untuk menerapkan Syariat Islam dalam negaranya, tentu ini menjadi sinyal yang membahayakan bagi para missionaris yang sedang menggelar proyeknya di Sudan Selatan.

Dan proyek missionaris ini berjalan serius di Sudan, terbukti dengan dibangun sebuah gereja pertama di Darfur, dan itu terjadi bersamaan dengan tuduhan pelanggran HAM di Darfur, yang memudahkan missionaris dengan baju LSM kemanusiaan menjalankan misinya.

Ketiga, war for oil. Tak beda dengan operasi-operasi di negara lainnya, Amerika dan sekutunya bermain dengan kepentingan yang sama di Sudan; memburu kekayaan alam Sudan. Dua daerah konflik; Sudan Barat dan Selatan merupakan daerah-daerah kaya akan sumber daya alamnya.

Bagian Barat atau Darfur, menyimpan cadangan emas hitam yang menggiurkan. Pihak kemanan Sudan berulang kali mendapati pesawat asing yang keluar dari Sudan dan membawa minyak mentah yang mereka curi dari daerah konflik.

Terkait kekayaan alam Darfur, Dr. Raghib as-Sirjani dalam buku Baina at-Tarikh wa al-Waqi’ telah menuliskan hal itu. Beliau mengungkapkan, Darfur merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alamnya. Pasirnya saja mengandung Uranium.

Ditambah lagi dengan simpanan cadangan minyak buminya sebanyak 631,5 juta barel, dan 99,1 milyar meter kubik gas alam yang belum tereksploitasi, serta cadangan biji besi dan juga tembaga. Produksi minyak mentah di Sudan perharinya kini mencapai 500.000 barel.

Kekayaan alam yang menggiurkan inilah yang disepakati oleh para analis sebagai sumber permasalahan sesungguhnya. Konflik internal (baca:perang saudara) yang menimpa Darfur hanyalah percikan kecil, yang kemudian mengundang hadirnya 258 LSM Asing.

Dengan bendera HAM mereka berhasil menembus Darfur, dan kemudian melaporkan adanya pembantai massal yang dilakukan pemerintah Khourtum di Darfur, dan dibahasakan Ocampo dengan istilah genosida Darfur, sehingga keserakahan asing akan mudah terwujud.

Keempat, ada misi asing melemahkan kekuatan Islam di Sudan dengan cara memecahkannya menjadi empat negara kecil. Konspirasi busuk ini terungkap pada bulan Agustus 1994, dalam Muktamar Afrika VII di Kampala, Uganda. Aktor utamanya adalah mantan Menlu Amerika urusan Afrika, Cohen, yang ingin membagi Sudan menjadi empat negara kecil, yaitu Darfur, Elija, Sudan Selatan, dan negara kecil di bagian Selatan Arab.

Empat kepentingan ini hanya sampel saja. Masih ada berbagai tujuan asing lain, seperti menguasai sumber air sungai Nil yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan Israel. Namun sampel ini cukup menjadi bukti kongkret kebencian Barat terhadap syariat Islam, sekaligus mempertontonkan keserakahan mereka.

Sedangkan ICC hanyalah lembaga independen yang diperalat untuk mewujudkan ambisi asing tersebut. Walaupun ambisi itu harus melecehkan kedaulatan negara Sudan; mengancam presidennya ditangkap bila ia keluar dari teritorial Sudan.

Bila memang ingin menegakkan keadilan, seharusnya ICC dan Barat tegas, sebagaimana kepongahan yang mereka lakukan di Afghanistan, Irak, dan lainnya. Tapi kali ini sepertinya mereka tidak memiliki rekayasa jitu dan bukti kuat, sehingga hanya berani melecehkan. Wallâhu a’lam bishowâb.

Penulis Muhammad Syarief, Lc. Mahasiswa Pascasarjana AOU, Kairo. Lahir di Jakarta, 23 September 1984. Alumni Pondok Pesantren Assalaam Surakarta. Menyelesaikan S1 di Fakultas Syariah Islamiyah Universitas Al Azhar, Kairo. Saat ini diamanahi sebagai Wakil Direktur Studi Informasi Alam Islami (SINAI) Mesir periode 2008-2010.