Syahganda Dihukum 10 Bulan, Haruskah Disyukuri?

Eramuslim.com

By Asyari Usman

Kalau tak salah memahami berita, sebagian orang cenderung mensyukuri hukuman 10 bulan penjara untuk aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Dr Syahganda Nainggolan. Artinya, hukuman itu oleh mungkin saja dilihat sebagai ‘kemenangan’.

Hukuman atas aktivis 1998 itu dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Depok pada 29 April 2021. Syahganda dinyatakan bersalah menyebarkan berita yang tidak utuh atau dianggap berlebihan terkait Onnibus Law.

Bisa jadi hukuman 10 bulan itu dianggap ‘sangat ringan’ dibanding tuntutan Jaksa yang meminta agar Syahganda divonis 6 tahun penjara. Kalau dilihat dari tuntutan Jaksa, ada betulnya hukuman 10 bulan adalah kemenangan besar.

Selesai vonis dibacakan, para pendukung Syahganda meneriakkan takbir di ruang sidang. Melihat suasana yang ada, pekikan “Allahu Akbar” lebih cocok ditafsirkan sebagai pertanda kesyukuran bahwa hukuman itu jauh lebih ringan. Tentu tafsiran lain bisa juga.

Jika dilihat dari konteks yang ada, memang wajar jika ada yang ‘bersyukur’. Memang faktanya hukuman itu sangat ringan dibandingkan nafsu Jaksa.

Cuma, kalau dipandang dari sisi lain, vonis itu seharusnya dilihat sebagai ketidakadilan. Sebab, Syahganda tidak pantas dihukum berdasarkan dakwaan Jaksa.

Dia seharusnya dibebaskan. Dan penahanan atas dirinya, dan juga orang-orang lain yang didakwa dalam kasus yang sama, seharusnya dianggap melanggar asas penegakan hukum. Sebab, aktivis KAMI itu hanya menyampaikan pendapat poltik yang dijamin oleh konstitusi negara. Dia bukan menyebar berita sepotong apalagi memprovokasi.

Artinya, para penguasa menggunakan instumen hukum untuk memenjarakan orang-orang yang menentang kebijakan pemerintah. Syahganda hanya menyuarakan perbedaan pendapat tentang Omnibus Law.