Terlarang Mengkritik Penguasa, Mereka ‘Maha Benar’

Eramuslim.com -DPR RI ingin menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden yang pernah dicabut MK pada Desember 2006 silam. Yang mulanya tercantum dalam pasal 134,pasal 136 bis, dan pasal 137 KUHP. MK berpendapat pasal ini akan menjadi hambatan dalam proses pengusutan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden. Upaya-upaya mengklarifikasi tuduhan pelanggaran tersebut bisa saja dipandang sebagai penghinaan kepada Presiden / Wakil Presiden. Sebelum dicabut pasal ini pernah dipakai untuk memenjarakan orang. Misalnya pada kasus yang dialami Supratman,redaktur Harian Rakyat Merdeka pada 2003 silam dijerat dengan pasal 137 Ayat (1) KUHP tentang perbuatan menyiarkan tulisan atau lukisan yang menghina Presiden atau Wakil Presiden karena judul pemberitaan yang dibuatnya dianggap menghina Presiden Megawati saat itu. Dan dia divonis hukuman penjara selama enam bulan dengan masa percobaan 12 bulan.

Berikutnya seorang aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) bernama Monang Johannes Tambunan pernah didakwa dengan pasal 134 KUHP di era Susilo Bambang Yudhoyono, dinyatakan bersalah melakukan penghinaan kepada Presiden saat menggelar aksi menolak kenaikan harga BBM didepan Istana Negara. Dia divonis melanggar pasal 134a dan 136 bis KUHP, dan dijatuhi hukuman enam bulan penjara.

Hampir sepuluh tahun setelah pasal karet ini dicabut, pada awal Agustus 2015 lalu pemerintah mengajukan 786 pasal dalam rancangan UU kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ke DPR RI untuk disetujui menjadi UU KUHP. Dari ratusan pasal tersebut terselip satu pasal mengenai penghinaan Presiden dan wakil Presiden, yang tertuang dalam pasal 263 ayat 1 RUU KUHP yang berbunyi : “Setiap orang yang dimuka umum menghina Presiden atau wakil Presiden dipidana dengan paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.