Ternyata, KPK Begitu Rapuh

Pasca tuduhan Nazaruddin melalui wawancara langsung via telepon kepada beberapa media televisi, ternyata begitu berpengaruh terhadap KPK. ‘Guncangan’ pun mulai terasa di tubuh lembaga pemberantas korupsi ini.

Ada tiga orang KPK yang disebut Nazaruddin diduga terlibat. Mereka adalah dua pimpinan KPK yaitu Chandra M Hamzah dan M Jasin, serta Deputi Penindakan Ade Rahardja. Ketiga orang inilah yang nantinya akan menjalani pemeriksaan komite etik internal KPK.

Pembentukan komite etik KPK yang terdiri dari tujuh orang anggota pun mengalami gempuran dari pihak publik. Pasalnya, komite ini terdiri dari lima anggota yang merupakan penasihat dan pimpinan KPK: Abdullah Hehamahua, Said Zainal Abidin, Busyro Muqaddas, Bibit Samad Riyanto, Haryono Umar. Dan dua orang dari luar KPK: pakar hukum Universitas Indonesia Marjono Reksodiputro dan akademisi Syahruddin Rasul.

Untuk nama terakhir, Syahruddin Rasul sebenarnya mantan pimpinan KPK. Tapi dari sudut pandang komite etik, ia dihitung sebagai tokoh luar.

Komposisi lima internal dan dua eksternal ini mendapat gempuran dari publik karena dikhawatirkan keputusan akan sangat dipengaruhi oleh kepentingan internal KPK. Dan hasil pemeriksaan nantinya menjadi tidak objektif.

Menariknya, di luar soal urusan komposisi komite etik, langkah pemeriksaan ini ternyata sempat memunculkan ketidakpuasan di internal pimpinan KPK sendiri. Salah seorang pimpinan KPK, M Jasin, sempat mengungkapkan ketidakpuasan itu kepada wartawan melalui SMS.

Menurutnya, semua unsur pimpinan KPK harus diperiksa. "Kalau dasar pemeriksaan Komite Etik hanya didasarkan pada siapa yang pernah disebut dalam nyanyian Nazaruddin dan siapa yang pernah ketemu dengan Nazaruddin, maka Komite Etik harus fair, tidak tebang pilih karena yang disebut Nazaruddin juga termasuk Busyro. Dia juga harus diperiksa," kata Jasin melalui pesan singkat yang dikirimkan kepada wartawan.

Yang tidak kalah heboh, Juru Bicara KPK Johan Budi pun ikut terseret ‘nyanyian’ Nazaruddin. Entah karena adanya pemeriksaan komite etik atau tidak, Johan Budi secara terbuka menyatakan pengunduran diri dari KPK. Menurutnya, ia ingin konsentrasi pada seleksi calon pimpinan KPK.

Mantan pimpinan KPK, Taufiqurrahman Ruki, dalam sebuah wawancara dengan TV-One juga menyebut bahwa ada pengaruh luar biasa dari ‘Nyanyian’ Nazaruddin kepada pimpinan KPK. “Saat ini, antar pimpinan mulai saling curiga,” ucapnya.

Dari tiga orang pejabat KPK yang dituduh Nazaruddin, hanya Ade Rahardja yang berani terbuka. Mantan jenderal polisi bintang dua ini mengakui dua kali pertemuannya dengan Nazaruddin kepada wartawan. Dua pertemuan itu dilakukan pada tahun lalu di sebuah restoran Jepang di kawasan Kuningan.

Pada pertemuan pertama, Ade didampingi Johan Budi. Dari sinilah, nama Johan Budi ikut disebut Nazaruddin. Pada pertemuan kedua, Ade mengaku didampingi staf KPK yang lain.

Dua pertemuan itu, menurut Ade, atas permintaan Nazaruddin. Pertemuan pertama membahas kasus korupsi di Kemenkes, dan yang kedua kasus di kementerian tenaga kerja. Intinya, Nazaruddin meminta agar penyidikan kasus tersebut dihentikan.

Dan ketika kasus dugaan korupsi di wisma atlet heboh, Ade mengaku beberapa kali dikontak Nazaruddin. Tapi, ia mengaku tidak pernah menjawab.

Rapuhnya KPK

Dilihat dari manuver Nazaruddin yang terkesan asal tuduh, karena tidak menyertakan bukti-bukti yang memadai, sebenarnya hal tersebut hanya akan menjadi sampah jika sasaran tembaknya memang benar-benar kuat. Publik pun menganggap bahwa tembakan Nazaruddin hanya peluru kosong.

Namun, kenapa tembakan peluru kosong itu bisa mengguncang sebuah lembaga superbody seperti KPK? Kenapa ada krisis kepercayaan yang muncul antar pimpinan KPK?

Hal inilah yang mau tidak mau memberikan sebuah kesimpulan tersendiri kepada publik bahwa KPK memang sudah rapuh. Publik pun mulai mengait-ngaitkan dengan dua kasus terakhir yang menunjukkan kelumpuhan KPK: kasus Nunun Nurbaeti dan Nazaruddin sendiri.

Dua kasus ini, secara telanjang memberikan gambaran kepada publik bahwa KPK sudah tidak seperti yang dulu. Di dua kasus itu, KPK hanya mampu bermain pada tataran retorika. Tapi sulit dibuktikan dalam kenyataan yang sebenarnya.

Menariknya, justru pada kepemimpinan KPK yang begitu lemah seperti saat ini, justru sebagian pimpinan itu ikut melamar menjadi pimpinan KPK periode mendatang.

Publik pun bertanya-tanya, sedemikian canggihkah mafia korupsi di negeri ini hingga membuat lembaga penegak hukum superbodi seperti KPK lumpuh dan culas. Lumpuh karena tidak berdaya dengan dua kasus sederhana seperti Nunun dan Nazaruddin. Bagaimana mungkin sulit menangkap Nunun padahal suami dan keluarganya ada di Jakarta. Dan bagaimana mungkin susahnya menangkap Nazaruddin padahal ia bisa menayangkan siaran langsung tentang dirinya lewat televisi berita.

Kemarahan Publik

Pemandangan terbuka tentang lumpuhnya KPK di Nunun dan Nazaruddin, menjadikan publik yang sudah sedemikian muak dengan ‘tarian’ dan ‘nyanyian’ aneka mafia termasuk korupsi di negeri ini menjadi seperti putus harapan.

Inilah yang disebut ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, sebagai jalan buntu sebuah keadilan. Hal tersebut pernah disampaikan kepada SBY yang juga ikut terjangkiti kelumpuhan akut, karena kelumpuhan itu sudah merembes di halaman rumah SBY sendiri, Demokrat.

Sementara, masyarakat hidup dalam pertarungan sengit dengan lonjakan harga yang kian tidak menentu, pelayanan publik yang tidak memadai, warna pendidikan yang makin kapitalistik, dan lain-lain.

Entah disengaja atau tidak, entah dalam disain pihak-pihak tertentu yang memang menginginkan Indonesia bubar atau tidak, lahirnya kemarahan massif sepertinya hanya tinggal menunggu minggu dan hari. mnh