Tragedi Genosida Gaza, Membongkar Segitiga Simbiosis

Semakin panas bara api membakar mineral, makin jernih intan yang dihasilkan. Semakin dahsyat badai menerpa, makin kokoh pendirian pemegang risalah kebenaran. Tragedi pembantaian manusia di Gaza yang merenggut lebih dari 1300 nyawa hanyalah satu contoh, bagaimana sikap para pengecut yang bersembunyi di balik tabir perdamaian dengan tumpukan kepentingan, kini dengan sendirinya kedok mereka tersingkap dan diketahui oleh dunia.

Sutradara dibalik skenario berdarah Gaza itu terlihat, bersamaan dengan ganasnya serangan Israel yang meluluhlantakkan Gaza ketika agresi 23 hari itu berlangsung, sehingga darah syuhada’ tak kunjung kering menggenangi Jalur Gaza. Usai pemberlakuan gencatan senjata pun semakin memperjelas, pihak mana yang tidak punya itikad baik terhadap rakyat Palestina di Gaza. Sedangkan bangsa Arab, di mana mereka, mengapa mereka belum bisa berbuat banyak untuk Gaza?

Para pemimpin Arab berbeda memandang kasus Gaza, mengapa? Dan siapa sebenarnya yang sedang berperang di Gaza? Ada indikasi degradasi pemahaman terhadap permasalahan Palestina, upaya penyusutan wilayah perang dari motif ideologis menjadi politis yang selalu diblow-up oleh sikap politik. Sehingga penggiringan opini ke arah perang bermotif politis mendominasi pemikiran beberapa pemimpin Arab. Penyempitan pemahaman wilayah perang yang semula terjadi antara Yahudi dan Muslim, kini menjadi perang antara Israel dan Gerakan Perlawanan Islam (Hamas).

Israel dan rekannya berusaha merusak citra Hamas yang semakin kuat dominasinya di Gaza. Diharapkan dari agresi Israel ke Gaza, Hamas tertuduh sebagai sumber permasalahan. Namun skenario itu gagal, justru dukungan terhadap pasukan perlawanan mengalir deras dari dunia internasional. Israel dan beberapa petinggi Arab yang loyal seketika jatuh reputasinya di mata dunia. Faksi-faksi perlawanan yang ada di Gaza justru menggabungkan diri dengan Hamas, seperti: Saraayaa Al-Quds (sayap militer Jihad Islam), Brigade Syuhadaa’ Al-Aqsha (Fatah), Brigade An-Nashir Shalahudin (Perlawanan Rakyat), dan faksi-faksi kecil lain yang mempunyai tujuan sama untuk membebaskan tanah Palestina dari penjajah.

Berbagai tanda tanya kemudian bermunculan. Kenapa Brigade Syuhada Al-Aqsha yang merupakan sayap militer Fatah bergabung dengan Al-Qassam, sayap militer Hamas? Bukankah selama ini Mahmoud Abbas (Abu Mazen), pimpinan Fatah selalu bersebrangan dengan Hamas?

Mereka yang Berkepentingan

Tidak bisa dilupakan bahwa sikap Israel terhadap Palestina sepanjang sejarah seperti pembantian di Qaana, Daar Yasin, Bahr El-Baqar, Shabra Shatilla, dan pembantaian lainnya, dalam rangka menggolkan narasi besar yang lama diimpikan, yaitu mendirikan Israel Raya yang membentang dari Sungai Nil sampai Eufrat di Iraq. Dalam peringatan ke-60 penjajahan Isreal (Yerussalaem, 15 Mei 2008) -setelah terbukti gagal dalam merealisasikan impiannya dalam waktu 50 tahun sejak 1948-mantan presiden AS, George W. Bush berpidato di hadapan Knesset, ia katakan bahwa dalam jangka waktu 60 tahun mendatang, Israel akan mempunyai tanah air independen. Harapan yang menjadi target ideologis ini menjadi motivator Israel dalam beriteraksi dengan Palestina. Melakukan apapun untuk mewujudkan mimpinya.

Penghalang utama Israel untuk merealisasikan targetnya adalah pasukan Perlawanan, terutama Hamas yang memenangi pemilu legislatif tahun 2006. Maka agenda prioritas Israel dalam memuluskan rencananya adalah menyingkirkan Hamas.

Rangkaian cara yang digunakan Israel untuk menekan Hamas, yaitu dengan memanfaatkan konflik internal Palestina antara Hamas dengan sebagian petinggi Fatah, seperti Mahmoud Abbas dan Mohammad Dahlan, dan bukan dengan seluruh eleman kelompok Fatah seperti yang dipahami kebanyakan orang. Konflik internal semakin memuncak ketika Hamas menguasai total Jalur Gaza, dengan melumpuhkan tentara Dahlan yang melakukan percobaan kudeta pada bulan Juli 2007 lalu. Wajah Fatah semakin buram ketika dokumen rahasia Dahlan yang memuat kerjasama dengan militer Isreal terbongkar di base-camp militer Fatah di Gaza. Sejak saat itu Abbas selalu memasang syarat ketika diajak berdialog dengan Hamas, yaitu dengan mengembalikan Gaza sebagaimana semula sebelum dikuasai Hamas.

Sikap Abbas yang memecat pemerintahan rersmi Hamas pimpinan Ismael Haniyah tanpa landasan hukum yang jelas, membuktikan kebencian Abbas terhadap pemerintahan Hamas. Jauh hari sebelum berakhirnya masa kepresidenan Abbas (9 Januari 2009), Wakil Kepala Biro Pilitik Hamas, Musa Abu Marzosuq bersuara lantang menentang rencana Abbas memperpanjang masa tugasnya, karena dinilai inkonstitusional. Posisi Abbas semakin terjepit dengan kondisi internal Palestina. Kekesalan Abbas semakin tampak jelas ketika selalu menolak berdialog dengan Hamas, tapi justru memilih kerjasama dengan Zionis Israel dan AS. Salah seorang pemikir Islam ternama, Dr. Fahmi Huwaidi menulis dalam sebuah artikel dengan tema membongkar kerjasama Abbas dengan Ehud Olmert, dan upaya untuk mengakhiri pemerintahan Hamas. Beliau berkesimpulan, bahwa antara Israel dan Abbas jelas ada deal-deal politik yang saling menguntungkan. Ada kesamaan misi untuk menjatuhkan pemerintahan Hamas.

Ketika agresi Israel ke Jalur Gaza berlangsung, sikap Abbas dalam menyelesaikan krisis di Jalur Gaza seakan tidak berpihak kepada rakyat Palestina. Hal itu terlihat ketika Abbas menolak hadir memenuhi undangan Amir Qatar, Syaikh Hamad ke KTT Gaza Darurat di Doha (Jumat, 16 januari 2009). Alasan ketidak hadiran dirinya itu dijelaskan Abbas via telepon, ia mengatakan bahwa dirinya mendapat tekanan, bahkan datang ancaman dari beberapa negara bahwa ia akan dibunuh, namun ia tak menyebut lebih lanjut siapa saja pihak-pihak yang mengancam kehadirannya itu ke KTT Doha.

Satu pihak lainnya yang bersangkutan langsung dengan krisis kemanusiaan di Gaza adalah Mesir. Penyeberangan Rafah yang mempertemukan langsung Jalur Gaza dengan Mesir, mempunyai peran penting dalam menyelesaikan krisis Jalur Gaza bahkan Palestina secara umum. Namun kebijakan pemerintah Mesir yang menutup penyeberangan Rafah, memperjelas sikap Mesir sesungguhnya.Indikasi itu diperkuat dengan Statemen Presiden Mesir, Husni Mubarak yang menyatakan bahwa penyeberangan Rafah tidak akan dibuka kecuali atas kesepakatan pemerintah otoritas Palestina dan Uni Eropa. Di lain waktu Mubarak juga menegaskan bahwa Palestina adalah negara yang masih terjajah, maka pembukaan penyebrangan Rafah harus melalui izin dari pihak yang menjajah. Dengan kata lain Mubarak mengakui eksistensi negara Israel.

Setelah Israel mengumumkan gencatan senjata, Mubarak kembali memberikan keterangan bahwa sejak awal peperangan, penyebrangan Rafah dibuka untuk menyalurkan bantuan obat-obatan dan kemanusiaan. Lebih aneh lagi statemen yang dilontarkan oleh Menlu Mesir, Abu Al-Ghaith. Ia mengatakan, "Penyeberangan yang kita miliki sangat kecil, tidak memungkinkan masuknya truk-truk besar yang membawa bantuan." Pernyataan itu semakin memperjelas tidak adanya komitmen pemerintah Mesir dalam membantu penyelesaian krisis di Gaza.

Ada alasan mendasar yang membuat pemerintah Mesir seakan tidak berpihak pada Palestina. Yaitu kekhawatiran yang berlebihan terhadap Hamas yang diasumsikan sebagai cabang dari Jamaah Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM) di Mesir. Jika Hamas semakin kuat dan bercokol bebas di Gaza bahkan menguasai pemerintahan, maka IM akan semakin menghambat dan mengancam kekuasaan Mubarak. Seperti yang dituliskan kolomnis ternama, Ibrahim Isa dalam koran harian Dustur terbitan Kairo. Ia menuliskan, bahwa Mubarak tak menyukai Hamas karena dirinya sangat membenci Ikhwanul Muslimin.

Gencatan Senjata Sepihak

Tanggal 16 Januari lalu Israel dan AS menandatangani MoU untuk gencatan senjata dan penghentian penyelundupan senjata ke Gaza. Kesepakatan itu tidak tertulis syarat gencatan senjata dan tanpa menarik pasukan Israel dari Gaza. Malam harinya pukul 02:00 dini hari waktu Palestina, tanggal 17 Januari Israel mengumumkan gencatan senjata. Pada hari yang sama pasukan perlawanan juga menyatakan gencatan senjata pada sore harinya, dengan syarat Israel harus menarik pasukannya dari Jalur Gaza dalam waktu sepekan. Belum sampai sepekan, pasukan Israel ditarik mundur dari Jalur Gaza.

Bila dicermati hal ini, kesepakatan politis ini justru memperlihatkan kekalahan Israel, menandatangani kesepakatan gencatan senjata tapi dengan pihak lain yang tidak terkait langsung. Dan pernyataan gencatan senjata dilakukan tanpa syarat, secara tidak langsung memperlihatkan kekalahannya.

Pasca penandatanganan MoU antara Israel dan AS, sebelum Israel mengumumkan gencatan senjata, Presiden Husni Mubarak seakan tampil sebagai pahlawan, menuntut Israel untuk menghentikan serangan ke Gaza. Fakta di lapangan menggambarkan seolah Israel mengabulkan tuntutan Mubarak. Pasalnya setelah statemen Mubarak, Olmert mengumumkan gencatan senjata. Bahkan Olmert secara terang-terangan mengatakan dalam Konferensi Syarmu Syeikh, bahwa gencatan senjata Israel untuk memenuhi permintaan Mubarak.

Benarkah demikian? Kalau permintaan Mubarak bisa dikabulkan Israel, kenapa tidak meminta gencatan dari awal? Kenapa sampai menunggu ribuan nyawa rakyat Palestina melayang baru gencatan senjata diberlakukan? Ada hubungan kepentingan apa sebenarnya antara Israel dan Mubarak? Pertanyaan yang ini yang tidak bisa dijawab oleh perwakilan dari Partai Demokrat Nasional milik Mubarak ketika diwawancarai channel TV Al-Jazeerah. Terima kasih Olmert, dengan ulahmu para pengecut itu dengan sendirinya nampak di mata dunia. Wallahu A’lam bish Shawab.

Profil Penulis:

Ahmad Musyafa’, Lc. Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Al-Azhar Kairo Jurusan Dakwah dan Wawasan Islam.
Direktur Studi Informasi Alam Islami (SINAI) Mesir masa juang 2008-2010 Email: [email protected] Web: www.sinaimesir.com