Utang BUMN

Eramuslim – Dalam beberapa kali kesempatan dan diskusi-diskusi saya selalu mengingatkan bahwa dalam pengertian utang negara tidak/belum termasuk utang BUMN.

Utang negara yang kini (2018 ) sekitar Rp 4.175 triliun itu belum termasuk utang BUMN yang sekitar Rp 5.253Triliun (2018) dan oleh pemerintah utang BUMN ini diklasifikasikan sebagai utang swasta. Kalau utang pemerintah dan BUMN ini digabung sudah mencapai lebih dari Rp 9.400Triliun atau sekitar 67% dari PDB.

Tetapi sebagian besar utang BUMN  itu adalah utang perbankan atau Dana Pihak Ketiga (DPK) yang sudah mempunyai aturan main tersendiri, sehingga layak bila dipisahkan dari utang negara. Sedangkan utang BUMN yang benar-benar dari pinjaman sekitar Rp 2.000Triliun.

Pemisahan utang BUMN dari utang negara adalah cara pemerintah mengecilkan beban utang negara. Padahal kalau BUMN gagal membayar kembali pinjaman atau utangnya itu,  kemungkinan besar utang atau pinjamannya akan jadi beban negara alias APBN.

Sesungguhnya jika pemerintah konservatif, maka utang BUMN yang dari pinjaman sebesar Rp 2.000 triliun tadi sebaiknya dicatat juga sebagai utang negara sebab atau dengan alasan sebagai berikut:

1. Kalau BUMN gagal bayar utang atau pinjamannya yang sekitar Rp 2.000 triliun itu kemungkinan akan jadi beban negara atau APBN sebab pemerintah yang akan bayar.

2. Aset BUMN itu kan sudah tercatat sebagai aset negara di Kementerian Keuangan. Jadi kalau asetnya tercatat mestinya utangnya juga dicatat negara sesuai prinsip akuntansi yang berlaku.

3. Sebagian utang BUMN itu juga karena penugasan dari negara jadi pemerintah harus konsekuen dan jujur mengakuinya sebagai contingent liability.  Artinya kalau BUMN gagal bayar maka pemerintahlah yang akan menanggungnya.

4. Faktanya negara juga sering melakukan tambahan atau suntikan modal ke BUMN (Penyertaan Modal Negara) yang dananya berasal dari APBN.