Wasiat Pak Dirman: Pertahankan Rumah dan Pekarangan Kita Sekalian!

Nah, bagi pembelajar geopolitik seperti penulis, cara mengingat urutan diksi ialah: geopolitik-geostrategi-geoekonomi. Ketiganya dilafas dalam satu tarikan. Jangan dipenggal. Tidak boleh terbalik atau dibolak – balik. Kredonya begini: “percuma mapping geopolitik tanpa ada geostrategi, sia-sia merumus geostrategi jika tanpa sasaran dan tindakan eksekusi guna meraih geoekonomi”.

Kembali ke geopolitik. Jika politik dimaknai sebagai distribusi kekuasaan (power), kewenangan (right) dan tanggung jawab (responsibilities) dalam koridor mencapai tujuan, maka geografi ialah upaya mencari hubungan antara konstelasi geografi dengan ‘pendistribusian’ tadi.

Geopolitik menurut KBBI adalah: 1 ilmu tentang pengaruh geografi terhadap ketatanegaraan; 2 kebijakan negara atau bangsa sesuai posisi geografinya.

Maka, menilai efektif atau tidaknya praktik geopolitik sebuah negara, bisa dicermati sejauhmana langkah-langkah sinergi antara geografi dengan (politik) kekuasaan, kewenangan dan tanggung jawab, serta kebijakan yang diambil. Ini sekedar contoh. Negara kepulauan dengan garis pantai yang panjang, misalnya, kenapa ada kebijakan impor garam dan ikan? Clue untuk belanja masalah adalah: pasti ada yang keliru dalam implementasi geopolitik (dan geostrategi)-nya; atau, negara agraris dengan curah hujan tinggi kok mengimpor kedelai, beras, bawang, cabe dan/atau holtikultura lain? Sekali lagi, niscaya praktik geopolitik oleh rezim (sistem dan aturan) pada masanya, kurang optimal. Inipun perlu breakdown secara detail dimana letak titik kritis dan poin yang membuatnya lemah atau tidak optimal. Apakah lemah di gagasan; atau kurang akurat dalam merumus narasi; atau eksekusinya loyo bahkan nihil alias ngomong thok; atau, jangan-jangan justru banyak korupsi? Di sini, perlu kejujuran dalam menyusun data awal serta mapping geopolitik guna menemukan titik-titik lemah.

Dalam sebuah sesi bantuan kepada rakyat korban bencana di Turki, ada esensi geopolitik yang dapat diambil dari pidato Recep Erdogan:

“… negara bukanlah beban bagi rakyat, negaralah yang mengambil beban rakyatnya …”.

Luar biasa substansi pidato di atas. Negara mengambil beban rakyat, bukan justru sebaliknya: membebani rakyat.

Namun sesungguhnya poin pidato Erdogan telah ada (being), nyata (reality) serta sudah beroperasi secara terstruktur di republik ini melalui slogan: NEGARA HADIR, misalnya, ketika di Poso ada gangguan keamanan, negara hadir (dengan pasukannya) guna membuat aman dan nyaman warga di sana; tatkala di Aceh timbul bencana, negara hadir melalui berbagai bantuan; ketika marak pandemi yang tidak kunjung usai, negara hadir melalui vaksinasi, demikian seterusnya hingga pada aspek pencerdasan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945.

Jadi, praktik geopolitik, geostrategi dan geoekonomi — ujungnya ialah “negara hadir.” Tak boleh tidak. Ya, negara hadir untuk mengambil beban rakyatnya!

Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.[]

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)