Wingitnya Kediri, Dari Jayabaya Sampai Jokowi

KH Kafabihi Mahrus yang mewakili pimpinan Pondok Pesantren Lirboyo dalam sambutannya mengucapkan terima kasih dan mengapresiasi pembangunan rusunawa itu.

Lalu ia menjelaskan sedikit “rahasia” untuk menawar daya wingit Kediri tadi.

“Kalau ingin aman berkunjung ke sini, sebelumnya ziarah dulu ke makam Syekh Wasil,” ujar KH Kafabihi Mahrus. Juga disambut tawa.

Yang dimaksud dengan Syekh Wasil adalah Syekh Al Wasil Syamsuddin  atau Mbah Wasil yang pernah bermukim di Kediri.

Beberapa sumber menyebutkan, bahwa Mbah Wasil adalah seorang ulama besar dari jauh. Ada yang menyebut dari Turki, ada yang menyebut dari Persia.

Ia datang ke Kediri di abad ke-12 dan menyebarkan ajaran Islam di Kediri.

Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa yang lebih dikenal dengan nama Jayabaya yang berkuasa di Kediri antara 1135 sampai 1157 tertarik dengan ajaran agama yang dibawa Mbah Wasil.

Jayabaya mengizinkan Mbah Wasil mengajarkan kitab “Musyarar” yang berisi ilmu pengetahuan khusus seperti perbintangan atau ilmu falak.

“Kenapa demikian (harus berziarah ke makam Mbah Wasil)? Karena Mbah Wasil merupakan penyebar agama Islam jauh sebelum para wali,” jelas KH Kafabihi Mahrus lagi.

Jatuh Bangun di Kediri

Kerajaan Kediri, biasa juga ditulis Kadiri, punya nama lain, yakni Panjalu, dan biasa pula ditulis Pangjalu.

Kerajaan dengan ibukota Dahanapura yang sering disingkat Daha ini berdiri pada tahun 1042, dan runtuh di tahun 1222. Raja pertamanya adalah Sri Samarawijaya, sementara raja terakhirnya adalah Kertajaya yang berkuasa dari 1194 sampai 1222.

Kata Dahanapura yang berarti Kota Api terdapat dalam prasasti Pamwatan yang ditulis di era Airlangga di tahun 1042.

Di tahun itu Airlangga membelah dua kerajaannya. Pangjalu diberikan kepada putranya yang bernama Sri Samarawijaya. Satu bagian lagi diserahkan kepada Mapanji Garasakan. Bagian yang ini dikenal sebagai Jenggala dengan ibukotanya di Kahuripan.

Dalam kitab “Decawarnana” yang ditulis Mpu Prapanca di tahun 1365 dan lebih dikenal sebagai kitab “Nagarakretagama” disebutkan bahwa sebelum dibelah menjadi dua, kerajaan yang dipimpin Airlangga itu sudah bernama Panjalu dengan Daha sebagai ibukotanya.

Dari sudut pandang ini, Jenggala adalah pecahan dari Panjalu, Pangjalu, atau Kadiri.

Dalam catatan-catatan lain disebutkan pula bahwa nama Kediri atau Kadiri berasal dari kata khadri dalam bahasa Sansekerta yang berarti pohon pace atau pohon mengkudu yang dalam ilmu botani modern mendapatkan nama Latin, Morinda citrifolia.

Sepeninggal Raja Airlangga, hubungan dua kerajaan yang semestinya bersaudara tadi, Panjalu (Kadiri) dan Janggala, kerap diwarnai konflik dan saling serang.

Untuk waktu yang cukup lama, tak banyak yang terdengar dari Kadiri, sampai Jayabaya berkuasa dan dianggap membawa era keemasan.