Hendri Saparini: Pemerintah Jangan Remehkan Minyak Goreng

Harga minyak goreng belum turun, bahkan cenderung naik, sampai awal pekan ini harga minyak goreng masih berada di kisaran 9. 000 sampai 10. 000 rupiah per liternya. Kondisi kalau dibiarkan akan berdampak buruk bagi kelanjutan industri kecil.

Upaya pemerintah untuk menekan harga minyak goreng tak kunjung membuahkan hasil. Operasi pasar, di berbagai daerah, diakui tidak efektif. Begitu juga Domestic Market Obligation (DMO) yang mewajibkan produsen memasok minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO), bahan baku minyak goreng ke dalam negeri, belum juga diberlakukan secara konsisten. Begitu juga dengan upaya lainnya dengan meningkatkan pajak ekspor, hasilnya masih menjadi pernyataan.

Pengamat Ekonomi ECONIT yang juga tergabung sebagai Anggota Tim Ekonomi Indonesia Bangkit Dr. Hendri Saparini dalam bincang-bincang dengan Eramuslim mengatakan, kasus mintak goreng menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia lemah dalam menentukan strategi pasar produk-produk unggulan.

Kenaikan harga minyak goreng yang terus melonjak, menurut Anda, apa penyebabnya?

CPO itu dimanfaatkan untuk banyak hal. Sekarang itu permintaan CPO itu melonjak, karena kita akan mengembangkan biofuel yang itu juga menggunakan CPO. Sementara kita belum persiapkan sebenarnya berapa sih produksi CPO kita, yang kedua Indonesia inikan penghasil CPO terbesar dunia tetapi kita tidak pernah memanfaatkan keunggulan kita itu untuk bisa melakukan strategi pasar yang lebih baik. Misalnya kita tidak pernah memikirkan adanya joint marketing untuk meningkatkan posisi tawar kita dipasar dunia dan sebagainya. Dan yang ketiga, kita tidak pernah memiliki sebuah perencanaan, bahwa CPO itu salah satu adalah kebutuhan pokok kalau untuk Indonesia. Bagaimana permintaan dan juga trendnya ini tidak diantisipasi dengan strategi pengembangan industri yang terintegrasi di Indonesia.

Jadi, kita belum bisa memanfaatkan 4 BUMN yang sebenarnya dia ini bisa bertanggung jawab dan membantu untuk penyediaan minyak goreng di Indonesia. Berbagai kelemahan itu karena akar masalahnya adalah karena memang pemerintah tidak mau berperan secara lebih aktif, mestinya adanya BUMN dan adanya swasta sebagai penghasil CPO terbesar ini bisa dioptimalkan asal ada peran pemerintah yang lebih besar dalam perencanaan ini, tetapi berbeda dengan negara-negara lain, sekarang ini Indonesia cenderung untuk menganut paradigma yang lebih meminimalkan peran pemerintah. Jadi kemudian komoditas unggulan, dan komoditas yang strategis tidak diatur maka permasalahan mahalnya harga minyak goreng akan terus terjadi.

Apakah kita kembali akan tergantung pada impor seperti kasus beras?

Kenaikan harga ini akan terus terjadi, apakah kemudian penyelesaiannya dengan impor. Dengan peran atau arah kebijakan pemerintah yang lebih memilih untuk liberal ya, akhirnya memilih impor tidak akan ada masalah. Padahal sebenarnya, sebagaimana beras Indonesia akan sangat mungkin untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri, tanpa harus mengimpor. Salah satu BUMN yang bisa bertanggung jawab dalam hal ini adalah PT. Perkebunan Nusantara. Semestinya dia bisa ikut dalam stabilisasi harga, tetapi selama ini pemerintah mengatakan BUMN ini harus diperlakukan sama seperti perusahaan swasta. Nah ini bentuk-bentuk pernyataan akibat paradigma pemikiran pemerintah yang menganggap pemerintah tidak perlu turut campur. Bahkan, meskipun kita memiliki perusahaan milik pemerintah yang sebenarnya bisa dioptimalkan tidak dimanfaatkan.

Apakah kenaikan pungutan ekpor dinaikan nantinya mampu menstabilkan harga minyak goreng yang sudah terlanjur naik, karena biasanya sesuatu harga sudah naik tidak akan bisa turun lagi?

Harga minyak goreng itu berfluktuasi, sebenarnya yang harus dilakukan itu jangan menggunakan pajak ekspor, dan itu mestinya menjadi pilihan terakhir. Tapi karena memang pemerintah tidak mau ikut campur, inikan sebenarnya kelangkaan yang pada awalnya bisa diantisipasi, tapi tidak bisa. Karena memang pemerintah tidak mau berperan lebih banyak, dan yang kedua kredibilitas dari pemerintah itu memang semakin kita pertanyakan.

Semestinya produsen besar dari CPO ini, ditambah dengan kredibilitas pemerintah akan bisa menyelesaikan tidak perlu dalam waktu yang berkepanjangan seperti ini. Namun pemerintah menganggap bahwa tidak perlu ikut-ikutan dalam hal ini, inilah yang membuat lama, tidak masuk akal bila BUMN yang semula sudah komitmen untuk menyediakan kebutuhan minyak goreng pun akhirnya tidak menyediakan itu. Padahal banyak kebijakan fiskal yang dilakukan bukan hanya dengan pajak ekspor tapi juga dengan insentif dan disinsentif lain untuk mendorong para pengelola atau produsen CPO dan minyak goreng sehingga menjamin ketersediaan pasokan di dalam negeri.

Assosiasi industri minyak dalam negeri menyatakan kenaikan itu diakibatkan naiknya harga bahan baku CPO, apakah itu benar, bukankah Indonesia salah satu negara penghasil CPO terbesar?

Itulah, kita secara total merupakan penghasil terbesar tetapi kita tidak bisa memainkan kelebihan kita ini, semestinya kan kita bisa menjadi pengimbang penentuan harga internasional. Tetapi justru yang terjadi kitalah yang ditentukan oleh pasar, nah itulah kerugian kita. Kenapa itu bisa terjadi, karena memang tidak ada peran pemerintah untuk menjadikan ini sebagai joint marketing, antara BUMN dengan perusahaan-perusahaan swasta untuk bersaing dipasar internasional, tapi yang terjadi sekarang mereka bersaing dipasar dalam negeri inikan merugikan. Padahal sebenarnya kekuatannya mereka ini sangat signifikan, dalam harga menetukan pasar internasional.

Kebijakan apa yang ideal untuk menghentikan lonjakan harga minyak goreng ini?

Sebenarnya yang harus dilakukan sekarang ini adalah menjamin ketersediaan, tidak ada lain, nah cara menjaminnya adalah harus ada intervensi dari pemerintah untuk segera menghitung berapa sih sebenarnya kebutuhan masyarakat. Dan itu harus segera diselesaikan dengan kerjasama baik dengan BUMN maupun swasta, dan nanti situlah yang akan ditentukan apakah pajak ekspor yang paling tepat, ataukah insentif atau disinsentif lain yang bisa diberikan pada pemerintah untuk menjaga stabilitas harga maupun ketersediaan pasar, di dalam negeri.

Bagaimana disinsetif ataupun insentif itu bisa diterapkan?

Seperti ini, mereka diberikan kemudahan dukungan di dalam melakukan ekspansi industri. Pada saat mereka akan melakukan investasi baru mereka akan mendapatkan keringanan pajak dan sebagainya. Justru bukan dengan pajak ekspor yang berkaitan langsung dengan produk CPOnya sendiri dan itu perlu dirumuskan apakah betul bagi pengusaha itu insentif yang paling menguntungkan atau tax holiday ataukah kemudian ada insentif dukungan lain.

Insentif itu pada dasarnya memberikan kemudahan untuk mengurangi cost mereka, sedang disinsentif itu hal-hal yang memberatkan mereka Sehingga mau tidak mau mereka terpaksa untuk memahami proses di dalam negeri, nah inikan pilihan kedua, karena pilihan pertama adalah insentif apa yang memang itu bermanfaat bagi para pengusaha, sehingga pemberian insentif ini tidak berdampak negatif.

Jadi kuncinya memang ada pada kebijakan pemerintah yang tepat sasaran?

Kalau menurut saya itu yang paling penting, karena dalam kondisi seperti ini posisi tawar dari masyarakat itu sangat rendah. Kalau tidak ada intervensi pemerintah, maka supply dan demand yang menentukan harga itu tidak akan bisa terselesaikan. Apalagi pemerintah tidak tahu berapa sebenarnya kebutuhannya, dan berapa sebenarnya produksi minyak gorengnya sendiri. Dipeta itu tidak ada, sehingga semakin menyulitkan kita untuk menjamin ketersediaan, maupun harga minyak goreng itu.

Selama ini pemerintah menganggap remeh produk minyak goreng itu?

Ya memang tidak ada campur tangan dari pemerintah, padahal ini adalah produk yang sangat produktif di Indonesia karena orang hampir tidak bisa hidup tanpa adanya minyak goreng di dalam rumah tangga. Jadi setiap rumah tangga sangat bergantung dengan minyak goreng itu sangat tinggi, sebagaimana ketegantungan terhadap cabe. Yang menurut lembaga internasional-internasional dianggap berlebihan memasukan perhitungan harga cabe dalam inflasi. Padahal untuk Indonesia cabe adalah komoditas untuk dimasukan ke dalam perhitungan inflasi.(novel)