Muslim AS Tak Bisa Sendiri Melawan Islamofobia dan Penindasan

Aktivis Muslim di AS Abdul Malik Mujahid, baru baru ini mendirikan organisasi Muslim Peace Coalition (MPC). Bersama organisasi antiperang lainnya di Negeri Paman Sam, MPC ikut melakukan aksi massa di New York City pada 9 April kemarin, dan di San Francisco pada 10 April,

Tapi PMC sendiri didirikan untuk melawan sikap Islamofobia dan menentang penindasan yang terjadi di negeri-negeri Muslim dan Arab. Berikut petikan wawancara dengan Abdul Malik Mujahid dengan reporter dari situs Sosialistworker.

SW : Bagaimana dampak "Perang Melawan Teror" terhadap Muslim, Arab dan komunitas Asia Selatan di AS?

Abdul Malik Mujahid : Pemerintah (negara-negara Barat) berjuang untuk meyakinkan rakyatnya agar mau berperang, katena sejatinya manusia tidak mau saling membunuh sesamanya. Agar orang mau membunuh, Anda harus melakukan pembusukan terhadap pihak yang dianggap menjadi musuh Anda dan orang-orang yang diidentikan dengan musuh tersebut.

Jadi, sementara AS sudah berada di Irak selama 20 tahun, lalu baru-baru ini di Afghanistan, dan sekarang di Libya, AS menjadikan komunitas Muslim di sini, di negaranya sendiri sebagai target. Siapa saja yang kelihatan seperti seorang Muslim menjadi tersangka. Akibatnya, karena muslim yang menjadi target, diskriminasi juga terjadi terhadap orang Arab Kristen, Hindu, Sikh dan India.

Adanya gelombang serangan terhadap Muslim di Amerika belum diakui secara memadai. Banyak orang tahu ada pembusukan terhadap Muslim dan ada Islamofobia, tapi mereka tidak begitu tahu seberapa kuat pembusukan dan Islamofobia itu.

Sejak peristiwa serangan 11 September 2001, lebih dari 700.000 muslim diwawancarai, puluhan ribu muslim ditahan dan dideportasi. Rezim "tukang tangkap" yang menaungi kita, menangkap dan menahan hampir 100 atau 200 selama 3 sampai 12 jam setiap harinya. Masjid-masjid di seluruh AS juga secara rutin dipantau dan digeledah, takut ada bom nuklir di dalamnya.

Semua itu menimbulkan dampak yang besar bagi komunitas Muslim di Amerika, dan menghancurkan organisasi-organisasi amal komunitas Muslim. Meski Presiden Obama sudah menyampaikan pidatonya di Kairo (pidato khusus untuk dunia Islam) dan mengakui bahwa zakat atau sedekah adalah pilar agama Islam, tapi Obama tidak melakukan tindakan apapun untuk membantu membangun kembali struktur lembaga zakat dan sedekah, yang dihancurkan pasca peristiwa serangan 11 September.

Islamofobia juga mempengaruhi pendapatan Muslim di AS. Sebagai contoh, sebuah studi menemukan fakta bahwa upah pekerja Muslim turun sebesar 10 persen. Sayangnya, studi itu tidak mengikutsertakan bagaimana upah muslimah yang bekerja sebagai dampak dari Islamofobia. Jika pekerja muslimah ikut disurvei, penurunannya mungkin jauh lebih buruk, lebih dari 10 persen.

Tapi, hal terburuk adalah, Islamofobia sudah menyebar kemana-mana, mulai dari acara-acara talk show kelompok sayap kiri sampai ke kelompok mainstream. Dalam putara terakhir pemilu, para politisi melontarkan pernyataan-pernyataan anti-Islam dan anti-Muslim. Mereka membawa Islamofobia ke dalam kebijakan publik. Mereka membuat situasi menjadi sulit jika ingin membangun masjid-masjid, mengkriminalkan orang yang melaksanakan ajaran Islam dengan mengajukan draft undang-undang ke 13 negara bagian yang menyatakan bahwa salat atau wudu adalah tindak kriminal. Jika draft undang-undang itu–seperti di Tennessee saat ini–disetujui, Muslim yang menjalankan kewajiban agamanya bisa ditangkap, diadili bahkan dikenakan hukuman 15 tahun penjara.

Kebijakan publik semacam ini hanya memperbesar aksi-aksi serangan terhadap Muslim, bahkan saat mereka berada di masjid. Ada kasus dimana seorang imam terbakar hidup-hidup, saat ia berusaha membersihkan grafiti anti-Muslim di dinding sebuah rumah, tiba-tiba terjadi ledakan.

SW : Bagaimana Muslim Peace Coalition berkolaborasi dengan organisasi massa lainnya untuk meredam Islamofobia?

Abdul Malik Mujahid :Komunitas Muslim di AS makin sadar bahwa Islamofobia adalah salah satu bentuk kebencian, mungkin bentuk kebencian yang dikenal dalam masyarakat kita pada hari ini.

Tapi ada bentuk kebencian lain, yang usianya lebih tua, terhadap komunitas yang dimarginalkan. Ada rasisme terhadap komunitas Afrika Amerika, ada kriminalisasi terhadap anak-anak muda muslim di kota-kota terpencil, ada kebencian terhadap para imigran, khususnya imigran asal Amerika Latin. Muslim juga dipandang sebagai imigran, meski sepertiga dari Muslim Amerika adalah orang Afrika Amerika yang sudah ada di negara ini berabad-abad yang lalu. Lebih dari 50 persen Muslim lahir dan dibesarkan di AS, tapi mereka tetap dipandang sebagai komunitas imigran.

Serikat-serikat perkerja juga menjadi target, begitu pula kaum perempuan. Layanan sosial buat mereka dikurangi. Guru-guru dipecat, mengajar dianggap sebagai profesi untuk perempuan. Jadi, 40 persen rumah tangga yang mengandalkan penghasilan dari kaum perempuan, ikut berdampak pada anak-anak dan kaum perempuan itu sendiri, karena pengurangan layanan sosial itu.

Dalam situasi ini, kami merasa ada persoalan umum dalam komunitas Muslim, bukan hanya soal Islamofobia, mereka juga harus menggalang aliansi dengan kelompok masyarakat yang juga mengalami diskriminasi dan serangan dari sisi ekonomi.

Kita perlu memahami dua poin penting. Pertama, Islamofobia, perang dan terorisme adalah fenomena yang saling berkaitan. Maka, kita harus berjuang melawan perang dan Islamofobia, juga terorisme. Kedua, masalah kebencian dan kemiskinan bukan hanya problem komunitas Muslim. Komunitas minoritas lainnya di AS juga menghadapi problem yang sama. Kita bisa dan harus bersatu dengan kekuatan-kekuatan yang lebih luas agar bisa melakukan perlawanan.

Kesadaran inilah yang akhirnya menghasilkan formasi Muslim Peace Coalition. Banyak Muslim AS yang menjadi bagian dari banyak koalisi, kebanyakan organisasi hak asasi manusia dan hak-hak sipil. Kami merasa perlu untuk menciptakan Muslim Peace Coalition untuk melawan peperangan di luar negeri dan di dalam negeri sendiri. Kita mengalami perang di dalam negeri karena semua uang tersedot untuk perang di luar negeri.

Melihat urgensi dari situasi ini, 40 intelektual Muslim melakukan "konferensi" lewat telepon, dan kami menyadari bahwa kita harus melakukan sesuatu. Kami lalu mengundang sejumlah aktivis dari berbagai kota dan sekarang Muslim Peace Coalition sudah memiliki cabang di 14 negara bagian.

SW : Apa yang Anda lakukan untuk merangkul komunitas Muslim dan memobilisasi mereka untuk melakukan aksi-aksi demonstrasi anti-Islamofobia dan antiperang?

Abdul Malik Mujahid :Saya datang ke masjid-masjid di dalam dan di luar kota New York. Kami bicara di hadapan para jamaah, mulai dari yang jumlahnya cuma 60 orang sampai yang lebih dari 1.000 orang. Kami berdialog dengan para pemuka Muslim di New York, New Jersey dan Connecticut.

Satu hal yang pelajari dari kunjungan-kunjungan itu, bahwa masyarakat Muslim sudah lama menunggu hal seperti ini, dan mereka sudah lebih dulu memahami bahwa kita berada dalam garis perjuangan yang sama. Mereka berterima kasih karena sudah bertemu kami. Dalam aksi tanggal 9 dan 10 April kemarin, kami bekerja sama dengan 100 imam yang menyerukan agar Muslim di dalam dan di luar kota New York berpartisipasi dalam aksi massa itu.

Ini merupakan sebuah proses belajar dan pengalaman yang luar biasa. Mereka meyakini bahwa mereka bisa mencapai konklusi yang sama, dan mereka sudah menunggu orang-orang yang bisa menyambungkan keyakinan mereka itu.

Saya pikir Amerika sedang mengalami sebuah perjuangan yang esensial bagi masa depan negara ini. Beberapa orang ingin membuat orang lain takut, khususnya warga mayoritas kulit putih, akan masa depan demografi akibat keberagaman yang ada di AS. Mereka ingin membuat orang takut akan keberagaman. Itulah sebabnya, mereka menciptakan slogan "Rebut kembali negara kita". Banyak orang membeli senjata, mengancam akan membunuh Presiden Obama, dan tindakan sejenis lainnya.

Saya berkeyakinan bahwa keberagaman akan menjadi kekuatan utama Amerika di tengah pergaulan dunia yang makin meng-global dan makin independen. Tak ada satu negara pun di dunia ini memiliki rakyat yang berasal dari berbagai penjuru dunia, yang jumlahnya besar dibandingkan Amerika.

Dalam situasi ini, ada dua hal yang bisa membantu AS. Pertama, daripada membom orang, lebih baik AS menjalin hubungan yang baik seperti hubungan antara pemilik toko dan pelanggannya. Kedua, AS harus menghormati semua orang apa adanya. Rakyat AS dari berbagai latar belakang yang beragam, sebenarnya bisa menjadi duta bagi masa depan perekonomian AS dan masa depan tatanan dunia dimana banyak negara-negara lain yang mulai bangkit.

Daripada menimbulkan rasa takut, AS perlu mempertimbangkan keberagaman sebagai sebuah kekuatan bagi Amerika dan demi terciptanya kondisi dunia yang lebih baik. (ln/SW)