Sulaiman Baldo: Di Somalia, Amerika Serikat Kalah Lagi

Sulaiman Baldo, Kepala Internasional Crisis Group (ICG) untuk wilayah Afrika, mengatakan, keberhasilan milisi Islam pendukung Persatuan Mahkamah Islam menguasai ibukota Somalia, Mogadishu merupakan kekalahan AS di negeri itu.

Ia juga menilai, pertikaian antara Aliansi Perdamaian Melawan Terorisme (ARPCT) yang didukung AS dengan milisi Islam merupakan kekerasan terburuk yang pernah terjadi di Somalia sepanjang 15 tahun belakangan ini.

Dalam wawancaranya dengan situs Aljazeera, Baldo menyatakan, jika klaim kelompok Islamis benar, maka akan menjadi kali pertama bagi kelompok Islamis mengambil alih kontrol seluruh kota dari tangan para panglima perang di Somalia, sejak tumbangnya pemerintahan Presiden Muhammad Siad Barre pada 1991.

Bagaimana analisa Sulaiman Baldo tentang kemenangan kelompok Islamis dan peran AS memicu pertikaian di wilayah itu? berikut petikan wawancaranya.

Apa lagi kira-kira dukungan yang akan diberikan AS pada Aliansi Perdamaian Melawan Terorisme (ARPCT)?

Kita tahu bahwa sejumlah panglima perang menerima dukungan dari Washington berupa pembayaran yang memungkinkan mereka untuk membeli senjata. ARPCT mulai angkat senjata melawan milisi Islam pada bulan Februari, kemungkinan setelah ARPCT bisa meningkatkan kapasitas militernya lewat bantuan Washington.

AS memang tidak mengiyakan atau membantah hal itu. Sejumlah pejabat hanya mengatakan bahwa mereka bekerjasama dengan orang-orang yang membantu mereka memerangi terorisme. Beberapa pejabat lainya justru mengingatkan bahwa aliansi itu berbahaya, tapi suara ini dibungkam.

Bisakah anda jelaskan apa bahaya dari aliansi ini?

Pertama sekali, aliansi ini sudah memicu pertikaian antara ARPCT dengan Mahkamah Islam sejak akhir Februari lalu yang mengakibatkan terbunuhnya ratusan warga sipil yang terjebak di tengah-tengah pertempuran. Dalam hal ini, Washington sudah secara total mengabaikan biaya kemanusian yang dikeluarkan untuk peperangan ini.

Kedua, Somalia menjadi tidak stabil lagi dan Mahkamah Islam makin kuat. Banyak warga masyarakat yang mendukung Mahkamah Islam karena mereka berhasil memulihkan keadaan dan sekarang mereka berhasil menguasai Mogadishu.

Somalia secara tradisi sebenarnya bukan tempat tumbuhnya pandangan-pandangan Islam yang radikal tapi lebih mengikuti Islam yang moderat, seperti Muslim lainnya di Afrika.

Lantas, apa sebenarnya yang AS inginkan di Somalia?

AS dan intelejennya di Somalia meyakini bahwa orang-orang yang bertanggung jawab atas serangan bom ke kedutaan besar AS di Tanzania dan Kenya pada 1998, serta serangan ke sebuah hotel dan pesawat Israel di Kenya pada 2002, dilakukan oleh kelompok teroris yang menggunakan Somalia sebagai tempat transit dan wilayah yang aman, terutama setelah tumbangnya pemerintahan Afghanistan (lewat invasi AS tahun 2001).

Sejumlah elemen radikal memiliki hubungan dengan Mahkamah Islam. Washington ingin mengalahkan Mahkamah Islam dengan harapan bisa memukul mundur para teroris yang menjadikan Somalia sebagi tempat persembunyian dan keberadaannya dianggap membahayakan banyak orang.

Tapi seperti kita lihat sekarang, hasil akhirnya bertolak belakang dengan yang diharapkan. Mahkamah Islam kelihatannya menjadi pemenang.

Disisi lain, AS kemungkinan sudah melakukan pelanggaran terhadap embargo PBB, karena sudah mendukung para panglima perang. PBB kini sedang melakukan penyelidikan.

AS terburu nafsu untuk mendapatkan hasil secepat mungkin, tapi nyatanya gagal. AS bahkan tidak segan-segan bersekutu dengan sejumlah panglima perang yang telah membunuh 18 pasukan AS di Mogadishu pada 1993.

Apakah cukup adil jika dikatakan bahwa perang yang terjadi di Somalia sebenarnya perang Washington melawan kalangan Islamis?

Bukan hanya itu. Perang ini juga mewakili perang antara Eritrea dan Ethiopia. Eritrea mendukung Mahkamah Islam sementara Ethiopia bekerjasama dengan Washington.

Mahkamah Islam mendapatkan dana dari komunitas pengusaha lokal karena menerapkan hukum Islam yang mengembalikan kondisi seperti sebelum Somalia dikuasai oleh ARPCT yang sekuler.

Pertikaian yang terjadi antara lain juga karena masalah kepentingan ekonomi, terkait masalah siapa yang mengendalikan rute perdagangan, pelabuhan dan bandara. Pertikaian ini tidak murni karena masalah perbedaan ideologi dan ada kenyataan terjadi eksploitasi peristiwa 11 September dalam panggung perpolitikan di Somalia. (ln/aljz)