Wawan H. Purwanto Soal Konflik Poso: Pemicunya dari Luar Poso

Penyelesaian konflik Poso tidak kunjung menemui titik terang, upaya penangkapan terhadap para DPO yang dianggap sebagai penyebab kerusuhan terus digelar oleh pihak kepolisian, namun proses itu justru berujung dengan peristiwa baku tembak yang membawa korban dari masyarakat sipil.

Apa sebenarnya yang terjadi di Poso dan mengapa pemerintah seolah sulit menuntaskan konflik ini? Berikut bincang-bincang eramuslim dengan pemerhati Intelijen yang juga Staf Ahli Wakil Presiden Bidang Keamanan dan Kewilayahan Wawan H. Purwanto.

Bagaimana pendapat anda tentang penanganan konflik Poso, apakah benar Detasemen 88 Polri telah menyalahi aturan?

Sebetulnya kalau prosedur dengan cara persuasif sudah dilakukan, menghimbau mereka untuk menyerahkan diri, juga sudah dilakukan bahkan sudah diundur sampai empat kali tenggang waktu. Dan yang menyerahkan diri tadinya hanya lima, dan yang lima itukan tidak diapa-apakan, akhirnya mereka juga dilepas lagi. Tetapi penegakan hukum kan tidak bisa lantas mendiamkan begitu saja, bagi yang tidak mau menyerahkan diri. Karenanya dilakukan tindakan represif. Sebab ini sudah menyangkut wibawa negara, selain itu mereka sudah menggunakan senjata. Di mana masyarakat sipil tidak boleh menggunakannya, sebab dapat membahayakan serta berpotensial membuat keresahan masyarakat dan menimbulkan teror.

Anda menilai langkah aparat di Poso sudah sesuai dengan prosedur, bagaimana warga sipil yang jadi korban?

Tentunya juga tidak menyalahi ataupun misalnya ada jatuh korban dari warga sipil, memang aparat sendiri menyadarinya, namun ini sesuatu yang sulit dihindari. Karena peluru kan tidak ada matanya, bisa saja memantul ke mana-mana. Inilah yang patut disayangkan, tetapi karena ini salah satu resiko dalam upaya penegakan hukum, sehingga kalau itu dianggap melanggar ataupun apa, dapat disampaikan melalui jalur pengadilan, sehingga prosesnya pun juga tidak menyalahi aturan hukum karena ada alasan-alasan tertentu.

Menurut anda apa sebenarnya yang terjadi di Poso, mengapa konfliknya jadi berlarut-larut?

Kalau sekarang ini sudah mengarah pada dendam, mereka merasa bahwa belum balance (seimbang) jumlah korban dari kelompok tertentu, sehingga mereka mencari keseimbangannya, tapi kalau ini menuruti dendam dan sebagainya, tentu tidak akan ada selesainya. Akan berujung pada balas-berbalas. Saya ingin kerusuhan ini segera diakhiri dan kita semua menatap ke depan saja, tidak menatap ke belakang, namun penegakan hukum harus tetap diupayakan. Kalau mereka ingin Poso tahap pertama dibuka lagi, paling penting saksi dan buktinya. Kalau sekarang memang saksi dan buktinya sudah sulit dicari. Dan jika kita membuka ini, berarti membuka luka lama lagi yang sudah ditutup dengan perjanjian Malino, maka ini tidak akan pernah selesai, dan negara menjadi tidak stabil.

Apakah artinya upaya penegakkan hukum dan perdamaian yang dilakukan pemerintah kemarin, gagal?

Sebetulnya untuk saat ini sudah diadili pelakunya, seperti Tibo cs yang sudah menjalani eksekusi. Begitu juga Hasanudin cs sudah diadili juga meskipun belum divonis. Kemudian juga sudah dilakukan pendekatan supaya ke luarga yang menjadi korban mutilasi dapat memaafkan para pelaku. Demikian juga sudah dilakukan pendekatan dari keamanan dalam hal ini Kapolda Sulawesi Tengah sudah mengusulkan pada pengurus rukun tetangga dan rukun warga untuk bicara dan memberikan peluang kepada mereka yang merupaka para DPO kalau menyerah tidak akan diapa-apakan. Ini menunjukan bahwa sebenarnya pemerintah sudah menginginkan adanya sikap yang akomodatif menerima mereka yang menyerahkan diri, tetapi yang tidak menyerah memang tidak akan dibiarkan. Karenanya perlu ada kerjasama antara ulama dan umaroh, dan mereka harus bersanding, bukannya bertanding, istilahnya begitu. Saya menginginkan mereka bersatu.

Apa benar konflik ini dipicu oleh pihak-pihak dari luar Poso?

Oh ya, pemicunya memang berasal dari luar. Saya sudah pernah menyampaikan bahwa pada Idul Fitri lalu, akan menjadi tumpuan, sebab kerusuhan ini sudah di-setting melalui rapat-rapat di sebuah hotel terkemuka di Jakarta, dan itu pastinya yang men-setting orang-orang asing, kemudian setelah selesai mereka kabur ke Singapura. Hal tersebut sudah pernah saya sampaikan kepada ulama-ulama baik yang bersal dari garis keras maupun yang moderat supaya tidak terpancing. Namun rupanya hal itu tidak sampai ke Ustadz Adnan Arsyal (Ketua Forum Silahturahmi Persaudaraan Muslim Poso) dan Ustadz Sugianto pada waktu melakukan ceramah di Kwitang, Jakarta Pusat bertemu saya, saya pernah katakan demikian rupanya mereka tidak tahu pesan yang dimaksudkan. Tetapi di sini saya tidak mau menyebutkan pihak asing itu darimana, tidak etislah.

Kelompok Forum Umat Islam beranggapan polisi terlalu berlebihan dalam melakukan penanganan kasus Poso, bahkan terkesan sudah membelokkan fakta yang sebenarnya di sana, Bagaimana menurut anda?

Jadi seperti ini, untuk penanganan yang tidak bersenjata memang bisa dilakukan lobi-lobi ataupun himbauan-himbauan, tapi khusus yang bersenjata tidak bisa dengan cara seperti itu, pasti akan dilakukan upaya-upaya represi dengan menggunakan senjata juga. Ini kalau perlakuannya normal, tentu juga akan menimbulkan korban dari masyarakat maupun aparat. Oleh karenanya memang perlu perlakuan khusus, sebab mereka menggunakan senjata. Dan senjata yang ada pada mereka itu senjata berat, dari berbagai jenis. Saya melihat ada M16, Caraben, ada granat, ada rakitan bom, ada amunisi yang seperti itu banyak, sehingga memang untuk itu tidak bisa dilakukan secara biasa-biasa saja. Dan tentu tindakannya seperti mengepung sebuah milisi atau kelompok sipil bersenjata. Memang kenyataannya di sana ditemukan senjata-senjata tersebut.

Dalam kasus Poso ini kelompok Islam merasa didiskreditkan, karena kelompok yang dicari ini disebut terkait dengan Jamaah Islamiyah ataupun alumni Afganistan, apakah memang benar DPO itu berasal dari sana?

Alumni Afganistan tidak semuanya jelek ya, dan alumni Afganistan tidak lantas semuanya menjadi Jamaah Islamiyah, karena mereka di sana membantu saudara-saudara yang sedang dalam kesulitan pada masa pendudukan Uni Soviet, jadi tidak selamanya bahwa siapa yang berjihad di sana, mesti akan berbuat nekat. Memang ada kekhawatiran setiap alumni Afganistan itu diajari teknik berperang, membuat senjata rakitan maupun teknik membuat bahan-bahan peledak termasuk bom, maka lantas stigma kelompok ini potesial melakukan tindakan itu.

Bagi saya sebaiknya ada pendekatan terhadap Muslim dan karena tidak semuanya mereka berasal dari garis keras dan tidak ingin diajak bicara. Saya ingin supaya tetap dilakukan komunikasi timbal balik agar tidak ada mis-komunikasi.

Saya kebetulan baru pulang dari sana, saya juga melakukan pendekatan dengan masyarakat setempat supaya mereka sama-sama membangun ekonomi yang porak-poranda dan SDM nya juga diperkuat serta membuka lapangan kerja, sehingga mereka mempunyai kesibukan. Kita harus menatap ke depan, tidak menatap ke belakang supaya tidak hanya stigma-stigma saja yang digelorakan akan tetapi bagaimana mereka kita rangkul untuk menjadi tokoh yang dapat menjadi panutan. Seandainya dia berasal dari kelompok Muslim, Muslim yang bisa diteladani oleh yang lain. Dan dengan sikap yang demikian kita bisa menghimbau aparat tetap berada pada koridor persuasif. Hal ini bisa terbukti kemarin, ada yang menyerahkan diri lagi tiga orang, dan harapan saya mereka dapat menyelesaikan secara lebih baik.

Jika memang seorang laki-laki, selesaikan dengan jantan, yang salah mengaku salah, yang tidak ya tidak mesti mengaku, kita akan buktikan itu dengan alibi-alibi, tentu ada penyelesaian dengan berbagai keringanan. Seandainya kita mengakumulatifkan semua itu, pasti bentrokan selanjutnya bisa dihindari, dapat selesai duduk disatu meja. Kalau memang tidak terbukti bersalah akan dilepaskan.

Menurut anda, apakah kepolisian perlu mengubah pola yang dilakukan dalam pengamanan terhadap DPO?

Saya sudah menghimbau agar kepolisian tetap akomodatif dan persuasif, harus berimbang kepada dua belah pihak. Dengan ada yang menyerahkan diri tiga orang tadi ternyata dapat membuka pintu komunikasi itu sangat kruisial dalam menangani kasus ini

Apakah perlu Densus 88 ini dibubarkan seperti permintaan beberapa pihak?

Kalau persoalan dibubarkan atau tidak, itukan kebijakan nasional, karena itu merupakan keputusan situasional dari negara, yang penting adalah bahawa mereka harus professional dan tidak melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak perlu. Kemudian mereka perlu melakukan penyelidikan dan penyidikan yang lebih seksama dulu sebelum melakukan penggerebekan. Misalnya dilihat dari sisi profesionalismenya mereka masih diperlukan, hanya kita juga ingin supaya meminimalisir korban agar tidak jatuh pada yang tidak diinginkan.

Kita semua menginginkan koreksi dan pembenahan di segala lini, baik diaparatnya maupun kelompok-kelompok yang bermasalah. Saya harapkan ada proses colling down saling koreksi lah, tinggal langkah-langkah ke depan tidak perlu memanas lagi tetapi menuju satu titik temu dan mendinginkan suasana.

Kondisi terakhir di sana seperti apa?

Saya melihat aparat kepolisian masih berjaga-jaga di sudut-sudut jalan, patroli masih tetap dilakukan, daerah rawan masih dijaga ketat Brimob masih dalam suasana seperti itu, pasukan juga ditambah 3 satuan setingkat kompi. Dan di beberapa daerah yang masih tegang ini hanya khusus daerah yang dikepung. Namun untuk daerah lain sudah terlihat toko-toko mulai buka. (novel)