Jalan Diponegoro dan Jalan Kiai Mojo

Dua tahun pertama jihad Diponegoro, 1825-1827, Belanda dipukul mundur dan menderita kekalahan hebat. Pasukan-pasukan Belanda Ireng bisa dihancurkan. Mujahidin Mataram membebaskan Tanah Jawa sejengkal demi sejengkal dari cengkeraman kaum kufar dan antek-anteknya. Kekalahan besar ini membuat Belanda sadar jika barisan Mujahidin Diponegoro tidak bisa dihadapi dengan perang frontal. Maka Belanda mengubah taktit dengan Benteng-Stelsel disertai penguasaan teritorial yakni setelah suatu wilayah diduduki maka kepada rakyat setempat akan diberikan berbagai makanan, yang sebagiannya dilemparkan begitu saja dari kereta-kereta kuda kaum kolonial tersebut. Rakyat yang memang menderita kelaparan akibat perang pun banyak yang memunguti ‘hadiah-hadiah’ tersebut. Selain Benteng-Stelsel dan Penguasaan Teritorial, Belanda juga melancarkan politik Devide et Impera, dengan mendekati bujuk rayu, dan membina lalu mempengaruhi orang-orang terdekat Diponegoro dengan sangat halus, agar mau mengakhiri perang dan rekonsiliasi.

Kepada orang-orang terdekat Diponegoro, Belanda membujuk agar perang segera diakhiri karena hanya membawa kesengsaraan terhadap rakyat banyak. Belanda juga menawarkan berbagai hal dan kelezatan dunia kepada Diponegoro agar mau berunding dan berdamai. Namun semua itu ditolak mentah-mentah oleh Diponegoro.

Sejarah mencatat, taktik Belanda ini akhirnya menuai hasil. Panglima Sentot Prawiranegara tunduk dan ditangkap. Demikian juga dengan Kiai Mojo yang akhirnya meninggalkan Diponegoro hingga membuat Diponegoro sangat gusar dan tidak ingin melihat wajah Kiai Mojo lagi sampai mati.

Dalam Babadnya, Diponegoro menulis: “Sungguh perbuatan yang nista, berkelana hanya ingin hidup dan takut mati, ilmunya tidak bisa, perintahnya tidak bisa diteladani kata-katanya, ulama macam apa dia itu! Demikian Kiai Mojo, tidak saya ijinkan berunding, jika tidak berani berperang lebih baik pulang!”