Afghanistan: Perang Perubahan?

Jenderal baru militer AS di Afghansitan telah membukukan perubahan—Stanley McChrystal menunjukan ia lebih efektif dibanding pendahulunya yang sudah dianggap gagal. Ia mengalihkan perang ke udara dengan pesawat dan jet tempur nomor satu yang paling canggih yang pernah dipunyai oleh AS. Angkasa Afghanistan saat ini dipenuhi dengan asap pekat dan dengkingan misil serta bom yang dijatuhkan dan diluncurkan ke segala arah.

Terakhir, Helmand—daerah yang dikuasai oleh Taliban—telah dibombardir. Di perbatasan, tentara Pakistan sudah menunggu Taliban dan rakyat sipil yang kebanyakan bangsa Pashtun, menyongsongnya dengan senapan sisa-sisa pembersihan Taliban di Lembah Swat yang sekarang berkonsentrasi—atau telah tersudutkan—ke selatan Waziristan. Tentara AS dan Nato menyebutnya: mereka hampir menang perang!

Jawabannya? Setelah delapan tahun penuh kesalahan di awal dan di tengah peperangan, sebagian media di Eropa menyebutnya sebagai samar-samar dan jauh. Benar memang pemerintah Pakistan telah memberantas Taliban yang mereka anggap sebagai ancaman, tapi mereka melakukannya dengan melibatkan korban sipil yang paling banyak. Benar memang, AS dan sekutunya telah meredefinisi tujuan berperang mereka di Afghanistan yaitu mengamankan pemilu Afghan Agustus mendatang, tapi revisi mereka ini sebelumnya sudah dipakai berulang kali tanpa ada kejelasan bagaimana mengakhirinya. Yang jelas, ada konsentrasi baru di Afghanistan berupa perlawanan rakyat kepada pemerintah Kabul dan di sisi lain Taliban mengisi alih berbagai wilayah di Afghanistan.

Kampanye presidensial Afghanistan tampaknya semakin mengalami komplikasi. Katakanlah, Afghanistan memang harus mengganti presiden Hamid Karzai, namun ini belum akan menyelesaikan masalah. Karzai sudah menyiapkan gerbong-gerbong di belakangnya untuk status quo—siapapun nanti yang akan muncul memerintah Afghanistan. Negara ini sudah jatuh dalam korupsi tingkat akut dan berdarah-darah, dan bahkan tentara AS dan sekutu yang melihat fakta secara langsung, sudah sejak jauh hari tak yakin bahwa kependudukan mereka akan mengubah wajah Kabul. Mereka mulai sadar, Karzai adalah boneka AS, namun ia juga ternyata tak segoblok yang mereka bayangkan, dengan menyiapkan “bom-bom” serta mesin waktu di belakangnya, menjaga kemungkinan ia ambruk dalam pemilu.

Lantas, setelah—misalnya—presiden Afghanistan baru terpilih, apa lagi untuk tentara AS? David Kilcullen, penasihat Jenderal David Petraeus di Iraq, sudah memberikan sinyal, “Sepuluh sampai 15 tahun ke depan, termasuk dua tahun berikutnya akan terus menjadi medan pertempuran (AS).” Ini artinya, segala pengamanan pemilu dan penyelamatan rakyat sipil Afghanistan bisa jadi hanya sebuah kampanye belaka. Ada sasaran akhir yang sedang dituju oleh AS yaitu menghabisi Taliban sepenuhnya. Al Qaidah tak pernah ditemukan, jadi hanya Taliban yang menjadi lingkaran tembak.

Inggris sudah mulai berpikir, apakah akan segera menarik mundur pasukannya dari Afghanistan ataukah tidak melihat perkembangan ini. AS mulai digerogoti oleh keyakinan dari sekutunya sendiri. Prancis dan Kanada mungkin segera menyusul.

Korban rakyat sipil makin parah, biaya perang makin membengkak, sementara rakyat AS semakin dibebani pajak yang tinggi untuk menopang perang ini. Barack Obama telah menciptakan perang ini. Ketika Obama dalam kampanye presidennya pertama kali mengatakan akan memperhatikan dengan intens perang di Afghanistan, konflik di Afghanistan tampaknya akan bisa direduksi.

Namun, semua orang ternyata salah, karena perhatian intens Obama justru dengan menggencarkan penguasaan AS di negara itu. Jika Bush telah berhasil menyulap Iraq menjadi setengah pincang jiwa dan raga, tampaknya Afghanistan pun akan bernasib sama di bawah kebijakan Obama. (sa/grdn)