Agen Intelejen Swiss Buka Mulut: Ditugaskan untuk Jerat Hani Ramadhan sebagai Teroris

DR. Hani Ramadhan (46), Direktur Islamic Center di Jenewa, mengajukan dua gugatan ke pengadilan terkait tuduhan terhadap pemerintah Swiss yang melakukan konspirasi atas dirinya dengan melakukan operasi spionase intelejen. Kasus ini, diungkap oleh sejumlah media massa beberapa waktu lalu.

Dalam keterangannya kepada Islamonline, Ridha Ajami yang merupakan kuasa hukum Hani Ramadhan mengatakan, “Klien saya mengajukan dua kasus. Pertama tuduhan pemerintah Swiss melakukan spionase intelejen terhadap DR. Hani Ramadhan. Kedua, tuduhan kepada sayap intelejen yang turut menyebarluaskan informasi bohong terhadap publik.”

Menurut Ajami, sikap diam pemerintah Swiss, khususnya sejak salah satu agen intelejen buka mulut setahun lalu dan memberitakan bahwa intelijen federal telah menugaskan dirinya untuk memata-matai aktifitas Islamic Center dan Hani Ramadhan.

Dalam dakwaannya, Hani ramadhan yang juga cucu Hasan Al-Bana ini menuntut antara lain, pemerintah harus bertanggung jawab atas aksi intelejen dengan membeberkan fakta secara utuh tentang peran yang ditugaskan kepada informan yang mematai-matai Ramadhan, dan mengarang cerita bahwa Ramadhan terlibat aksi teroris. Menurut kuasa hukum Ramadhan, kliennya juga melakukan penelitian terhadap mekanisme undang-undang yang sesuai. Sejak ia menerima informasi dari seorang mata-mata yang mengurai pengakuannya secara detail, Ramadhan telah berupaya melakukan konfirmasi ke berbagai pihak formal dari jajaran pemerintah.

Tapi Menteri Kehakiman, Christov Blukher yang berafiliasi ke partai rakyat beraliran ekstrim kanan, juga kepolisian, mengatakan secara tertulis bahwa mereka tidak mungkin menerima tudingan itu. Karenanya, mereka juga tidak mau meminta maaf terhadap Ramadhan dan minoritas Muslim.

Hani Ramadhan sendiri, dalam dialognya dengan Islamonline mengatakan, pengajuan kasus tersebut dilandasi kecintaannya terhadap Swiss yang selama ini dikenal sebagai negara hukum. “Saya berat melibatkan diri dalam masalah yang berbahaya ini. Tapi kredibilitas demokrasi Swiss dan sayap keamanan negara akan terancam, bila semua diam terhadap kasus ini. Sebagai warga negara Muslim di Swiss, saya harus tetap menjaga undang-undang negara hukum ini. Kita juga harus menghormati nilai-nilai dan prinsip kemanusiaan yang ada dan tidak mengizinkan siapapun untuk mengecam sistem serta nilai tersebut.”

Cerita Agen Spionase

Kisah ini dimulai ketika tahun 2004, seorang pria bernama Covase mendatangi Islamic Center dan mengaku ingin memperdalam agama Islam. Covase tak berapa lama setelah itu menyatakan diri masuk Islam dan merubah namanya dari Cloud menjadi Adil. Adil lalu menjadi orang yang sering bolak balik ke Islamic Center. Karena dia sebagai Muslim yang baru, para pengunjung masjid di Islamic Center mempergaulinya dengan sangat baik. Terlebih ketika ia menyampaikan pandangannya yang baru untuk membela sejumlah permasalahan Islam, menentang Israel dan politik AS di dunia.

Keterkejutan terjadi di akhir tahun 2005, ketika Hani Ramadhan didatangi selembar surat dari Covase yang mengaku bahwa ia adalah seorang agen spionase yang diperintahkan intelejen Swiss untuk masuk ke dalam Islamic Center dengan pura-pura masuk Islam. Tugasnya adalah memata-matai Islamic Center dan khususnya direkturnya, Hani Ramadhan serta menghimpun data yang bisa diperoleh sebagaimana misi intelejen yang diembannya.

Menurut Covase dalam suratnya, intelejen ingin mengetahui lebih detail dan dalam aktifitas Hani Ramadhan. Namun Covase mengaku setelah sekian lama keluar masuk Islamic Center, dirinya tak mendapatkan data apapun yang diinginkan pihak intelejen Swiss. Iapun merasa ragu dan menyampaikan kepada intelijen Swiss bahwa dirinya tidak berhasil dan gagal melakukan mata-mata.

Masalahnya ternyata semakin rumit, karena setelah itu Covase justru diperintahkan untuk misi pembuatan serangkaian peristiwa yang bisa menjerat Ramadhan dalam kasus mendukung gerakan terorisme. “Saya tidak akan mampu melakukan misi kotor seperti ini terhadap Hani Ramadhan. Dia tidak pernah menjahati siapapun.” Covase lalu mendapat ancaman dari intelejen dan ia berpikir, satu-satunya cara untuk menghindari itu adalah dengan menyatakan diri di depan media masa, dan memperoleh perlindungan pribadi. (na-str/iol)