Antiklimaks Pemilu Afghanistan, Demokrasi Semu Yang Dibangun Barat

"Hamid Karzai penuh dengan kegagalan, ia banyak membuat kesalahan. Kabinetnya penuh dengan korup, semua menterinya orang-orang oportunis, tidak profesional, janjinya tak pernah dipenuhi, dan kekerasan terus meningkat", ucap Pasthana Wardak kepada wartawan. Inilah komentar seorang wanita Kabul, yang baru saja meninggalkan tempat pemungutan suara, di mana Afghanistan sedang berlangsung pemilu presiden.

Rakyat Afghanistan baru saja menyelesaikan pesta demokrasinya meski dibayang-bayangi oleh situasi keamanan yang rawan dan ancaman kelompok Taliban yang sejak awal menyerukan rakyat Afghanistan agar memboikot pemilu. Ancaman itu memang terbukti di beberapa tempa, terutama di wilayah yang menjadi basis Taliban di selatan Afghanistan.

Di provinsi Paktia misalnya, sekitar 30 tempat pemungutan suara tidak jadi dibuka karena alasan keamanan. Begitu juga di provinsi Zabul yang menjadi basis Taliban. Seorang pemantau pemilu asing mengatakan bahwa situasi di provinsi itu sangat sepi, karena warga lebih memilih tinggal di rumah demi keselamatan. Di timur bukota Kabul, juga sempat terjadi baku tembak selama hampir dua jam antara aparat keamanan Afghanistan dengan dua anggota Taliban. Tapi akhirnya kedua anggota Taliban itu tewas tertembak. Laporan Al-Jazeera menyebutkan, sedikitnya 26 warga Afghanistan tewas dalam 135 insiden serangan yang terjadi selama pelaksanaan pemilu Kamis kemarin.

Data pemerintah Afghanistan menyebutkan ada 17 juta warga negeri itu yang berhak mengikuti pemilu hari Kamis kemarin. Tapi melihat fakta di lapangan dan tempat-tempat pemungutan suara yang tidak begitu ramai, sulit diprediksi berapa persen keikutsertaan rakyat Afghanistan dalam pemilu kemarin. Yang pasti, keikutsertaan rakyat Afghanistan dalam pemilu tahun ini tidak seantusias pemilu tahun 2004 lalu, dimana keikusertaan rakyat dalam pemilu mencapai 80 persen.

"Ternyata yang datang ke tempat-tempat pemungutan suara sangat sedikit, jauh dari yang kami harapkan," kata seorang aparat keamanan Afghanistan yang bertugas mengamankan lima tempat pemungutan suara sekaligus di wilayahnya.

Di kota Kabul, dimana pengamanan dilakukan sangat ketat, warga memilih melihat situasi dan kondisi dulu sebelum memutuskan pergi ke tempat pemungutan suara. Mereka mendengarkan radio, menonton televisi, saling meminta pendapat pada teman dan tetangga untuk memastikan bahwa situasinya aman bagi mereka untuk memberikan suara.

Pemilu Afghanistan kali ini menjadi anti-klimaks karena tingkat keikusertaan rakyat justeru menurun, lebih karena rakyat merasa takut akan keselamatan mereka jika ikut pemilu. Kepemimpinan Presiden Hamid Karzai dan kehadiran pasukan asing pimpinan AS di negeri itu, terbukti tidak membuat situasi di Afghanistan membaik baik dari aspek sosial maupun keamanan.

Sejumlah rakyat Aghanistan bahkan mengeluhkan berbagai pelanggaran dan ketidakberesan administratif dalam pemilu. Abdul Hamid, seorang pemuka suku Aghman di Afghanistan mengungkapkan, sekitar 50 persen warga Paghman yang mempunyai hak pilih tidak mendapatkan kertas suara, sehingga tidak bisa ikut memilih. Situs BBC beberapa waktu lalu juga menurunkan laporan tentang jual beli kertas suara menjelang pelaksanaan pemilu.

Dari sisi persaingan kandidat, Hamid Karzai-sebagai presiden inkumben-dipekirakan tidak akan mendapatkan suara mayoritas dalam pemilu kali ini karena rendahnya tingkat keikutsertaan pemilu di kalangan pemilih. Jika dalam pemilu tahun 2004 Karzai mendapatkan mayoritas suara-lebih dari 50 persen-dalam pemilu kali ini, perolehan suara akan tersebar ke sejumlah kandidat. Saingan besar Karzai adalah mantan menteri luar negeri Afghanistan, Abdullah Abdullah.

Jikapun Karzai menang lagi, tapi jika dengan kemenangan suara yang tipis, sulit bagi Karzai untuk membangun dukungan politik yang kuat dan solid bagi pemerintahannya. Apalagi selama ini pemerintahan Karzai bisa bertahan karena ada dukungan Barat, utamanya AS, dibelakangnya. (ln/nw/aljz)