AS Ingin Damai, Taliban Menolak

Beginilah liciknya AS, setelah memporakporandakan Afghanistan lewat invasinya selama hampir tujuh tahun dan setelah tahu bahwa pasukan koalisinya tidak akan mampu menghadapi Taliban, negara Paman Sam yang sedang diambang kehancuran ekonominya itu mulai "cari selamat" untuk mengakhiri konfliknya di Afghanistan dengan menyatakan siap berekonsiliasi dengan Taliban.

Berbicara usai pembahasan perang di Afghanistan dengan anggota pasukan Nato di Budapest, Menhan AS Robert Gates mengatakan bahwa negara AS pada "akhirnya" siap berekonsiliasi dengan Taliban untuk mengakhiri konflik di Afghanistan. Setiap kesepakatan dengan Taliban harus berdasarkan pada tuntutan pemerintah Afghanistan dan Taliban harus mematuhi aturan-aturan yang ditetapkan pemerintahan Afghanistan yang saat ini dipimpin oleh Presiden Hamid Karzai, presiden Afghanistan boneka AS.

"Harus ada akhir, dan saya pada akhirnya akan menekankan rekonsiliasi sebagai bagian dari jalan keluar politik untuk konflik ini. Pada akhirnya harus ada strategi jalan keluar untuk kita semua," kata Gates.

Meski demikian, Gates menyatakan tetap menolak untuk bernegosiasi dengan kelompok al-Qaida di Afghanistan dan hanya bersedia berbicara dengan Taliban. Padahal AS melakukan invasi ke Afghanistan dengan alasan mencari pimpinan al-Qaida Usamah bin Ladin yang dituding menjadi dalang serangan 11 September 2001 di AS. Invasi kemudiang berkembang menjadi penjajahan AS di Aghanistan setelah berhasil menumbangkan pemerintahan Taliban yang berkuasa di Afghanistan ketika itu.

Dalam invasinya, AS meminta bantuan dari pasukan Nato. Saat ini, ada sekitar 33.000 pasukan AS dan 40.000 ribu pasukan Nato yang dikerahkan ke Afghanistan.

Gates menyatakan kesediaan AS bernegosiasi dengan Taliban setelah intelejen AS National Intelligence Estimate (NIE) kembali mengeluarkan draft laporannya yang kontroversial hari Kamis kemarin. Laporan tersebut menyatakan bahwa situasi di Afghanistan saat ini menjadi situasi terburuk bagi pasukan koalisi AS sejak invasi mereka tahun 2001 dan sedang meluncur ke arah kekerasan dan kekacauan.

Sebelum NIE mengeluarkan draft laporannya, Komandan Pasukan Inggris di Afghanistan Brigadir Mark Carleton-Smith menyatakan bahwa perang di Afghanistan tidak bisa dimenangkan jika tetap dilakukan dengan cara militer dan sudah saatnya dilakukan negosiasi dengan Taliban. Pernyataan Smith diamini oleh sejumlah komandan pasukan dan diplomat Nato yang menilai perlunya melakukan negosiasi dengan Taliban untuk mengakhiri konflik di Afghanistan.

Hari ini, Sekretaris Jenderal Nato, Jaap de Hoop Scheffer sendiri yang mengungkapkan keraguannya bahwa pasukan asing mampu memenangkan peperangan dengan Taliban di Afghanistan. Meski demikian, Scheffer dalam pertemuan dua hari Nato di Budapest menyatakan bahwa ia mendukung penambahan dana anggaran pertahanan, walaupun dunia, terutama negara-negara anggota Nato sedang dilanda krisis keuangan buruk.

Lucunya, penjajah asing di Afghanistan sekarang membuat seolah-olah yang bertikai adalah pemerintah Afghanistan dan Taliban, dan bukan kehadiran mereka yang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan di Afghanistan lewat invasinya, Sehingga Presiden Afghanistan Hamid Karzai meminta Arab Saudi untuk menjadi mediator negosiasi antara pemerintah Afghanistan dan Taliban serta menyerukan pimpinan Taliban Mullah Omar agar membuka diri bagi perdamaian di Afghanistan.

Sikap Taliban

Sementara itu, menurut agen-agen intelejen dan sumber-sumber yang dekat dengan pemerintah Afghanistan, sikap Taliban terpecah dua terkait tawaran damai dengan pemerintahan Hamid Karzai yang didukung AS.

Tapi seorang juru bicara Taliban, Maulvi Zabihullah mengatakan bahwa Taliban tidak tertarik untuk melakukan negosiasi atau kesepakatan dengan AS atau agen-agennya di Afghanistan. "Taliban tetap bersatu dibawah kepemimpinan Mullah Mohammad Umar dan akan tetap akan meneruskan perjuangan untuk melawan para agresor asing dan agen-agen lokalnya," tegas Zabihullah.

Bulan September lalu, sejumlah mantan pejabat Taliban termasuk menteri luar negeri Maulvi Wakil Ahmad Mutawakkil dan utusan Taliban untuk Pakistan Mullah Abdul Salam Saeef, sudah menggelar pertemuan dengan perwakilan dari pemerintahan Afghanistan di kota Makkah, Saudi Arabi yang menjadi mediator perdamaian antara keduabelah pihak.

"Kami tahu, mereka bertemu dengan perwakilan pemerintah Afghanistan di istana Raja Saudi di Makkah. Tapi mereka tidak diberi mandat untuk bernegosiasi dengan mereka," kata Zabihullah seraya mengatakan bahwa para mantan pejabat Taliban yang hadir dalam acara itu, saat ini tidak punya kewenangan lagi untuk ikut menentukan kebijakan Taliban.

"Kami menghormati mereka. Namun kami tidak ada kaitannya dengan pertemuan mereka atau pembicaraan dengan orang-orang Karzai," tambah Zabihullah.

Sumber-sumber Taliban lainnya mengatakan, Mutawakkil dan mereka yang hadir dalam pertemuan di Makkah adalah tokoh-tokoh yang oleh pejabat dan media AS disebut sebagai tokoh "Taliban yang moderat" dan sudah tidak dipercaya lagi oleh Mullah Umar.

Lebih lanjut Zabihullah mengatakan, Taliban menghormati upaya yang dilakukan Raja Saudi, Raja Abdullah untuk memediasi perdamaian. "Tapi fakta yang terjadi di Afghanistan sangat jauh berbeda. Banyak yang menentang negosiasi dengan AS karena kebrutalan yang telah dilakukan AS terhadap rakyat sipil Afghanistan," tukasnya.

Zabihullah juga menegaskan bahwa Taliban sudah makin kuat dan tidak butuh negosiasi dengan AS atau para agen-agennya. "Pasukan penjajah mengalami kekalahan setiap hari. Kesepakatan dan negosiasi hanya akan memperkuat pasukan asing dan akan membahayakan gerakan pembebasan. Apapun itu, pasukan AS harus meninggalkan Afghanistan," tandas Zabihullah. (ln/iol/aljz/prtv)