Dalam negara Islam, presiden harus bertanggung jawab untuk memastikan bahwa ritual Islam perhatikan, termasuk mengenakan jilbab dan salat berjamaah, kata calon presiden potensial Islam Mesir Hazim Abu Ismail Shalah dalam sebuah wawancara televisi pada hari Sabtu lalu.
"Dari sudut pandang agama, penguasa ditugaskan untuk memastikan bahwa perintah-perintah Islam dihormati," kata Abu Ismail kepada saluran swasta Al-Tahrir. "Peran penguasa adalah untuk memastikan bahwa ketika seseorang berjalan di jalan, dia tidak melihat praktek-praktek yang bertentangan dengan Islam."
Salah satu praktek yang perlu dihilangkan di negara, Abu Ismail adalah banyaknya "kepala-telanjang" para perempuan. "Jilbab adalah kewajiban. Ini adalah masalah konsensus di antara semua ulama … Peran penguasa adalah untuk mengaktifkan kewajiban-kewajiban ini, " kata Abu Ismail, seorang anggota Ikhwanul Muslimin yang dikenal mewakili tren salafi dalam jamaah Ikhwan.
Sebelumnya musim panas ini, Abu Ismail mengumumkan bahwa ia akan mencalonkan diri sebagai presiden, menentang keputusan Ikhwanul Muslimin untuk tidak maju menjadi kandidat calon presiden.
Dalam jajak pendapat terbaru facebook yang dilakukan oleh Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata untuk menilai popularitas kandidat presiden, Abu Ismail tampil mengejutkan berhasil mengumpulkan delapan persen suara, mengalahkan enam nama kandidat lain seperti Amr Moussa, mantan sekretaris jenderal liga Arab (lima persen), tokoh Islam reformis Abdul Munim Abul Futuh (dua persen) dan hakim Hesham Al-Bastawisi (satu persen).
Wawancara Abu Ismail datang pada saat yang adanya kesenjangan mendalam antara sekularis dan Islamis yang mencoba mengambil alih peran agama dalam politik pasca-Mubarak. Pada hari Jumat 29 Juli, puluhan ribu aktivis Salafi dan anggota kelompok-kelompok Islam, turun ke Tahrir Square untuk menyerukan pelaksanaan perintah-perintah syariat Islam. Bagi sekularis, perintah-perintah tersebut, jika diterapkan, akan melanggar hak-hak pribadi dan kebebasan dan membuka jalan bagi negara agama seperti Saudi atau Iran.
Status minoritas non-muslim di negara Islam pertanyaan yang mendesak selama wawancara Abu Ismail di Al-Tahrir.
"Keindahan Islam adalah bahwa Islam mengatakan bahwa non-muslim harus punya kebebasan mutlak … Dia bebas makan daging babi, minum minuman keras … " katanya.
Tapi dalam pandangan Abu Ismail, kebebasan absolut tidak akan mengecualikan wanita non-Muslim dari standar pakaian Islam. Seorang wanita non-Muslim harus mematuhi norma-norma Islam, menyiratkan bahwa ia harus mengenakan jilbab agar tidak "membangkitkan" nafsu pria, katanya.
Selain aturan pakaian bagi perempuan, di bawah pemerintahan Islam, orang seharusnya tidak diperbolehkan melakukan aktivitas apapun selain shalat pada saat shalat Jumat berjamaah, ia menambahkan.
Dalam negara Islam, penguasa tidak dapat membiarkan seorang pria "merokok shisha di sebuah kedai kopi sementara semua orang sedang shalat", kata Abu Ismail.
"Sebagai seorang penguasa, Anda akan memaksa orang untuk melakukan shalat Jumat?" Tanya pembawa acara di televisi al-Tahrir.
"Tentu saja, tidak diragukan lagi. Tidak ada yang bisa tidak setuju tentang hal itu, "jawab Abu Ismail. "Dalam hal ini, penguasa akan menegakkan hukum bahwa seluruh masyarakat tidak ada yang berkeliaran di jalan selama waktu shalat Jumat, "tambah Abu-Ismail.
Calon presiden ini mengatakan bahwa penegakan hukum Islam harus terjadi secara bertahap. "Kita berbicara tentang sebuah negara di mana Islam belum ditegakkan selama puluhan tahun … Oleh karena itu, kembali ke Islam harus dilakukan dengan lembut, "katanya.
"Hanya Allah yang tahu apakah kita dapat mengimplementasikan syariah Islam bahwa dalam satu tahun atau sepuluh tahun," tambahnya.(fq/amay)