Dan Wanita Yahudi pun Tak Boleh Mencalonkan Diri Dalam Pemilu

Rabbi kepala di pemukiman Tepi Barat telah melarang perempuan ikut ambil bagian dalam pemilihan umum untuk menduduki posisi di pemerintahan masyarakat setempat.

Rabbi Elyakim Levanon dari pemukiman Elon More, dekat Nablus, mengatakan bahwa perempuan tidak memiliki wewenang untuk mencalonkan diri untuk menduduki jabatan sebagai sekretaris daerah.

Dia menulis pernyataannya tersebut di sebuah koran komunitas Yahudi yang menyatakan bahwa perempuan hanya harus patuh dan mendengar apa yang suami mereka katakan.

Tidak ada perempuan yang terdaftar untuk ikut pemilihan yang dijadwalkan akan digelar nanti pada hari Rabu kemarin (27/5), media Israel melaporkan.

Rabbi membuat komentar di koran komunitas Yahudi setelah seorang wanita muda yang tak dikenal menulis kepadanya menanyakan apakah ia bisa ikut mencalonkan diri untuk posisi sekretaris komunitas yahudi, lapor situs berita Israel Ynet News.

Dalam kolom mingguannya, Rabbi Levanon menulis bahwa menurut ajaran-ajaran rabbi berpengaruh, perempuan tidak diperbolehkan untuk melamar posisi tersebut.

"Masalah pertama yang melarang perempuan menduduki posisi itu adalah terkait memberikan kewenangan dan tanggung jawab terhadap perempuan, dan menjadi sekretaris berarti mempunyai wewenang," tulis Rabbi Levanon di surat kabar komunitas Yahudi.

Masalah berikutnya adalah perempuan yang memiliki posisi jabatan dalam sebuah masyarakat tentu harus bergaul dan bercampur baur dengan banyak orang dan harus mengikuti pertemuan hingga larut malam dengan tokoh masyarakat lainnya dan ini sebuah pelanggaran dan tidak layak dilakukan oleh seorang perempuan.

Namun kelompok-kelompok HAM perempuan Israel mengecam pernyataan Rabbi tersebut.

"Pernyataan tersebut cukup memalukan dan kami akan memanggil rabbi untuk mengklarifikasi pernyataannya. Saya berharap para pemimpin masyarakat keagamaan di Israel mengutuk instruksi rabbi Levanon," kata Nurit Tzur tokoh perempuan Israel.

Berbeda di Indonesia, puluhan bahkan ratusan perempuan yang mengaku muslimah berebutan untuk menduduki posisi di pemerintahan khususnya sebagai kepala daerah maupun anggota legislatif. Ribuan poster mereka dengan berbagai pose ‘terbaik’ dipajang disudut-sudut kota. Dengan alasan emansipasi sebagian besar mereka memaksakan diri melepas secara suka rela tanggung jawab utama mereka di rumah tangga. Ironis..(fq/bbc)