Dewan penguasa militer Mesir tidak akan mengizinkan pemantau internasional untuk mengamati pemilihan parlemen mendatang yang dirancang untuk memindahkan negara itu kembali ke kekuasaan sipil, seorang anggota dewan mengatakan Rabu kemarin (20/7).
Keputusan, yang merupakan bagian dari UU Pemilu baru yang disetujui oleh para jenderal penguasa negara itu, langsung mendapat kritikan pedas dari para aktivis yang mengatakan langkah itu menimbulkan pertanyaan tentang transparansi pemilu pertama sejak tersingkirnya Hosni Mubarak.
Mayor Jenderal Mamduh Syahin, yang mempresentasikan UU baru pemilu tersebut kepada wartawan Rabu kemarin mengatakan bahwa pembatasan pemantau asing merupakan langkah yang diperlukan untuk melindungi kedaulatan Mesir. "Kita tidak ada yang perlu disembunyikan," katanya, menambahkan "kami menolak apa saja yang mempengaruhi kedaulatan negara kami."
Hafez Abou Saada, seorang anggota Dewan Nasional Hak Asasi Manusia, mengatakan janji-janji pemilihan umum yang bebas dan adil dari militer tidak cukup, dan mencatat bahwa menolak pemantau internasional mencerminkan diadopsinya aturan dari rezim Mubarak.
"Pemantau internasional adalah bagian dari setiap pemilihan umum yang modern," katanya. "Banyak negara sedang menonton apa yang terjadi di Mesir. Ini bukan sinyal yang positif, jika pemantau internasional ditolak."
Undang-undang baru juga menurunkan usia minimum untuk pencalonan majelis rendah dari usia 25-30 tahun, yang tampaknya untuk memungkinkan kaum muda yang memimpin pemberontakan 18-hari yang berhasil menggulingkan Mubarak untuk maju menjadi kandidat anggota parlemen. Aturan untuk majelis tinggi tetap sama: Calon harus minimal 35 tahun, dan presiden baru terpilih akan menunjuk 100 dari 390 anggota majelis.
Kehakiman, Shaheen mengatakan akan mengawasi proses pemilu secara keseluruhan, membatasi peran Kementerian Dalam Negeri dan bertanggung jawab untuk banyak kecurangan dalam pemilu sebelumnya.(fq/ap)