KTT Iklim Dunia di Copenhagen Gagal Total

Pertemuan tingkat tinggi para pemimpin dunia yang membahas masalah perubahan iklim dunia di Copenhagen, ibukota Denmark menemui jalan buntu. Tidak semua peserta pertemuan yang diikuti oleh 193 negara itu mendukung kesepakatan hasil pertemuan dalam upaya mengatasi masalah pemanasan global.

Pembahasan yang berlangsung selama dua minggu dan negosiasi-negosiasi yang dilakukan secara marathon siang dan malam selama pertemuan berlangsung ternyata tak mampu menghasilkan sebuah keputusan yang bisa mengikat seluruh negara di dunia untuk ikut bertanggungjawab atas isu pemanasan global. Konferensi Copenhagen yang digagas PBB itu membuat sejumlah pemimpin negara, termasuk para juru kampanye dan pakar lingkungan hidup kecewa dan frustasi atas sikap sebagian negara maju yang lebih mengedepankan kepentingan diri sendiri ketimbang kepentingan seluruh umat manusia dalam upaya mengatasi dampak pemanasan global.

Pertemuan tingkat tinggi Copenhagen yang berakhir Sabtu (19/12) menghasilkan poin-poin kesepakatan yang oleh sejumlah negara peserta bermasalah. Kesepakatan tersebut tidak lepas dari hasil lobi Presiden AS Barack Obama dengan negara-negara lain yang selama ini menjadi penyumbang terbesar masalah polusi dunia selain negara AS, antara lain China.

Organisasi-organisasi lingkungan hidup dan negara-negara berkembang seperti Venezuela dan Kuba serta media massa Eropa mengecam sikap Obama dalam menyikapi isu pemanasan global dan perannya dalam menghasilkan kesepakatan itu.

"Dia (Obama) membentuk sebuah liga negara-negara pencemar lingkungan hidup terbesar dan negara-negara yang berpotensi menjadi pencemar lingkungan. Liga itu mirip sebuah koalisi para srigala yang bergabung untuk mengendalikan sebuah ‘kandang ayam’," tulis Bill Mckibben, penulis dan pakar lingkungan hidup dalam kritiknya yang dimuat majalah AS, Grist.

Dalam kesepakatan itu misalnya menyebutkan soal target untuk membatasi kenaikan suhu pemanasan global maksimum 2 derajat Celsius. Namun target itu tidak secara spesifik mewajibkan negara-negara yang paling besar membuang gas emisi penyebab pemanasan global, untuk mengurangi gas emisinya yang memicu perubahan iklim dunia yang berdampai pada kehidupan manusia karena pemanasan global ditengarai menyebabkan naiknya permukaan air laut, bencana banjir, kekeringan, badai dan longsor.

Poin kesepakatan lainnya yang juga dianggap bermasalah adalah rencana bantuan bagi negara-negara miskin dalam upaya mengatasi masalah pemanasan global. Dalam kesepakatan itu disebutkan bahwa negara-negara akan diberi bantuan sebesar 30 miliyar dollar untuk jangka waktu tiga tahun ke depan untuk membiayai program-program penanggulangan pemanasan global. Setelah tiga tahun, bantuan akan ditingkatkan sebesar 100 juta dollar per tahun sampai tahun 2020.

Namun sejumlah negara berkembang menentang poin tersebut. Sebagian menyatakan dana sebesar itu tidak cukup untuk penanggulangan masalah pemanasan global, sebagian lainnya mengkritik bantuan yang seolah-olah menyalahkan dan membebankan masalah pemanasan global hanya pada negara-negara miskin.

Presiden Bolivia, Evo Morales menegaskan, dalam masalah "perbaikan iklim" negara-negara kaya berutang milyaran dollar pada negara-negara miskin. Ia menuntut dibentukan "pengadilan perubahan iklim" untuk negara-negara yang tidak mau menghentikan polusinya. Sebagai contoh negara AS, termasuk China yang tetap tidak bersedia menetapkan target untuk mengurangi emisi gas penyebab polusi.

Juru bicara Pusat Ilmu Pengetahuan dan Lingkungan Hidup India, Suparno Banerjee menilai bahwa Pertemuan Copenhagen gagal total karena tidak menghasilkan kesepakatan yang mengikat secara hukum negara-negara maju untuk ikut mematuhi kesepakatan internasional penanggulangan pemanasan global.

"Kita telah gagal menciptakan sebuah kesepakatan yang mewajibkan seluruh dunia untuk melakukan tindakan guna mengendalikan perubahan iklim," kata Banerjee.

Sementara Presiden Venezuela, Hugo Chavez menilai kebuntuan di Copenhagen terjadi karena negosiasi yang dilakukan salah arah. Ia menuding pemimpin-pemimpin negara maju, seperti Barack Obama hanya ingin menyelamatkan muka AS sebagai negara pencemar lingkungan terbesar di dunia, dengan cara membuat kesepakatan-kesepakatan sepihak.

Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad berkomentar bahwa kapitalisme dan imperialisme negara-negara Barat menjadi biang keladi dari krisis lingkungan yang terjadi sekarang ini. (ln/aljz/prtv)