Pasca Krisis, Masihkah Jepang Akan Menjadi Macan Asia?

Bencana alam yang menimpa negara maju biasanya memiliki efek dua-tahap. Tahap pertama, timbulnya gangguan karena jalan dan infrastruktur hancur, jaringan listrik lumpuh, banyak orang yang tidak bisa bekerja, sehingga terjadi penurunan produksi.

Tahap kedua, karena jalanan banyak yang hancur, jaringan listrik lumpuh, dan berbagai kerusakan lainnya, maka harus dilakukan kembali pembangunan atau perbaikan, sehingga terjadi kenaikan produksi.

Jadi, jika melihatnya dari sisi jangka panjang, sembilan bulan berikutnya dan seterusnya, ouput yang hilang pada tahap pertama akan tergantikan dengan ouput tambahan pada masa periode kedua

Demikian pernyataan Sebastian Mallaby, mengawali analisanya soal masa depan ekonomi Jepang pascagempa dan tsunami yang disusul dengan krisis nuklir di Negeri Matahari Terbit itu. Mallaby adalah pakar ekonomi sekaligus Direktur Maurice R. Greenberg Center for Geoeconomic Studies.

Pada situs Council on Foreign Relations (CFR), Mallaby menyatakan keyakinannya bahwa Jepang mampu membangun kembali perekonomiannya setelah melakukan rekonstruksi yang cepat terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh gempa dan tsunami serta krisis nuklir yang menimpa negara itu.

Meskipun dampak bencana sangat luar biasa dan efek kekhawatiran akan ancaman radiasi radioaktif dari reaktor-reaktor nuklir yang meledak di Jepang, cukup signifikan bukan hanya di dalam negeri Jepang tapi juga di level internasional.

"Potensi radiasi telah menimbulkan banyak gangguan, penduduk di kota-kota urban yang dekat dengan reaktor nuklir mengungsi. Tapi Anda akan melihat fenomena yang sudah sering kita saksikan akan terulang, ketika Anda mendapatkan gangguan dalam jangka pendek, dalam banyak hal, orang akan melipatgandakan output-nya begitu mereka kembali bekerja," kata Mallaby.

"Sebagian orang mengungkapkan kekhawatiran mereka, jika biaya rekonstruksi yang ditanggung pemerintah mencapai tingkat yang signifikan, akibatnya utang pemerintah akan membengkak. Sebagian orang juga takut akan terjadi kepanikan hal pasar utang pemerintah Jepang, karena pada dasarnya mereka tidak ingin meminjam dengan kuantitas yang lebih besar pada pemerintah, karena pemerintah mereka sendiri sudah terbebani utang yang besar," jelas Mallaby.

Jepang merupakan negara yang perekonomian terbesar ketiga di dunia, tapi rasio utang negara Jepang dibandingkan Produk Domestik Bruto-nya, cukup tinggi diantara negara-negara maju lainnya.

Mallaby memperkirakan Jepang harus mengeluarkan dana sebesar $ 100 miliar dolar untuk biaya rekonstruksi kerusakan yang diakibatkan gempa, tsunami dan gangguan yang disebabkan oleh radiasi akibat bocornya reaktor nuklir serta untuk pembayaran klaim asuransi akibat radiasi.

Tapi jumlah di atas, kata Mallaby, relatif kecil jika dikaitkan dengan rasio utang pemerintah Jepang yang jumlahnya sekitar 10 trilun USD. Jadi, biaya rekonstruksi itu paling hanya menyumbang sekitar 1 persen dari keseluruhan utang pemerintah Jepang.

"Inilah alasan mengapa saya cenderung optimis, bahwa dampak makroekonomi kurang signifikan jika dibandingkan dengan tragedi kemanusiaan yang terjadi," kata Mallaby.

Efek bagi Perekonomian Global

Terkait dampaknya bagi perekomian global, Mallaby mengatakan, salah satu faktor yang menunjukkan bagaimana bencana "luar biasa" di Jepang akan mempengaruhi perekonomian global adalah terhadap rantai pasokan global.

Negara-negara di dunia saling terkait dan adanya interdependensi dalam sebuah rantai pasokan global yang rumit, dan negara Jepang adalah bagian dari rantai tersebut. Dalam jangka pendek, akan terjadi gangguan produksi di pabrik-pabrik penting, seperti pabrik otomotif buatan Jepang dan memerlukan proses akhir pembuatannya di pabrik-pabrik yang terletak di negara lain, misalnya di AS.

Tapi, kata Mallaby, ada paradok dalam rantai pasokan global, meski gangguan yang terjadi dalam satu negara riaknya bisa sampai ke seluruh dunia, selalu ada kemampuan yang lebih baik untuk beradaptasi dengan efek yang meluas, karena ada tempat-tempat yang lebih potensial di seluruh dunia, dimana orang bisa menggeser produksi jika basis produksi utama mereka mengalami gangguan.

Mallaby juga menilai dana rekonstruksi yang digulirkan Jepang tidak akan mempengaruhi situasi pasar modal di tempat lain, pun jika Bank of Japan, seperti dilansir BBC, akan mengucurkan likuiditas sebesar $ 98 miliar dolar.

Ia membandingkannya dengan situasi saat terjadi gempa di San Francisco tahun 1906. Gempa itu menyebabkan krisis finansial pada tahun 1907 karena dana rekonstruksi gempa tersebut menguras likuiditas di pasar uang di London dan New York. Krisis ekonomi tahun 1907 menjadi "bencana" sistematis terbesar bagi sistem keuangan AS sepanjang abad ke-20.

Jika ada yang mengatakan gempa Jepang akan menimbulkan efek yang sama dengan efek gempa San Francisco, "anggapan itu sangat salah," ujar Mallaby, karena pada tahun 1907 diberlakukan standar emas yang artinya persediaan uang dunia sangat terbatas, dan ketika uang itu dikucurkan untuk biaya rekonstruksi San Francisco, terjadi kelangkaan uang di AS. Tapi sekarang, setiap negara memiliki bank sentral yang bisa mengelola mata uangnya sendiri.

Meski demikian ada gap antara pejabat keuangan Jepang dengan para pakar ekonomi dunia. Menteri Keuangan Jepang khawatir akan makin menguatnya mata uang Yen, sementara pakar ekonomi khawatir Yen akan terapresiasi secara signifikan, sehingga mereka merasa perlu adanya intervensi ke pasar uang.

Menjawab kekhawatiran itu, Mallaby mengatakan bahwa intervensi dilakukan hanya untuk menangkap kekhawatiran terhadap penguatan mata uang Yen. Intervensi biasanya dilakukan untuk merespon situasi yang tidak stabil dan untuk mengoreksi ketidakstabilan itu.

Dunia sedang berada dalam iklim pasca krisis keuangan, dimana bank-bank sentral di seluruh dunia mencetak uang, dan opini yang terbangun di pasar meyakini bahwa pencetakan uang yang dilakukan bank-bank sentral akan memicu inflasi dan pada akhirnya akan menjadi bencana.

Kenyataannya, dalam situasi yang membuat syok seperti saat ini, cukup masuk akal jika bank-bank sentral menyediakan likuiditasnya dan melakukan darurat untuk mengoreksi penguatan nilai mata uang Yen yang kemungkinan bisa membuat ekonomi Jepang terpuruk.

Jepang akan Bangkit

Lebih lanjut Mallaby mengatakan, pada saat krisis, otoritas keuangan sering panik dan menutup transaksi di pasar modal. Padahal tindakan itu salah besar, karakter pasar modal, mudah ditutup tapi akan sangat sulit saat akan membukanya kembali, karena para pelaku pasar modal tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan untuk mengoreksi harga begitu pasar modal ditutup meski cuma satu atau dua hari saja.

"Saya tidak mengatakan bencana alam di Jepang ini tidak ada efeknya sama sekali (zero effect), Jepang memang perlu melakukan mengeluarkan dana untuk biaya rekonstruksi.

Tapi dalam skala pasar modal secara global, jumlah dana rekonstruksi itu kelihatannya tidak terlalu besar sehingga berpotensi menggangu harga-harga di pasar modal. Jika dana rekonstruksi menjadi besar dan mengganggu harga-harga, maka uang yang terkuras dari pasar modal untuk keperluan rekonstruksi tersebut, akan secepatnya diisi kembali oleh bank sentral dengan cara mencetak uang kertasnya," papar Mallaby.

Di sisi lain, krisis politik di sejumlah negara Arab dan Afrika Utara belakangan ini, sempat membuat harga minyak melambung. Negara-negara maju seperti Jepang, sangat bergantung pada nuklir sebagai sumber energi pengganti sumber energi alam, untuk memenuhi kebutuhan listri terutama untuk sektor industrinya.

Namun krisis nuklir di Jepang membuat sejumlah negara mengkaji kembali, bahkan sudah ada yang menutup sementara reaktor nuklirnya. Itu berarti, mereka akan beralih pada sumber alam untuk memenuhi kebutuhan energinya. Oleh banyak pihak, situasi ini dikhawatirkan akan menyebabkan harga minyak dunia kembali melambung.

Mallaby mengatakan, jika Jepang memilih mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan energi di negaranya setelah krisis energi nuklir terjadi, tentu akan berdampak pada kenaikan harga minyak.

Tapi kenaikan harga itu tidak signifikan, karena Jepang hanya membutuhkan impor minyal setengah juta barrel per hari untuk mengganti seluruh sumber energi nuklir yang hilang. Jadi, menurut Mallaby, perekonomian Jepang masih kuat untuk mengatasi krisis yang diakibatkan bencana alam yang menimpa negaranya.

Yang justru perlu menjadi perhatian utama, seperti kata Mallaby di atas, adalah dampak kemanusiaan yang disebabkan tragedi itu. Bagaimana memulihkan trauma dan menyembuhkan luka jiwa masyarakat Jepang akibat bencana yang menelan puluhan ribu nyawa itu. (ln/CFR)