Finlandia Adili Pastor Rwanda Atas Tuduhan Genosida

Negara Finlandia untuk pertama kalinya dalam sejarah, menggelar pengadilan kasus genosida (pembantaian massal). Tapi yang duduk di kursi pesakitan, bukan warga negara Finlandia tapi warga negara Rwanda, Francois Bazaramba. Bazaramba adalah mantan pastor di negara Afrika Tengah itu yang didakwa dengan tuduhan genosida terhadap lebih dari 5.000 orang dalam pertikaian sektarian di Rwanda yang terjadi tahun 1994 lalu.

Bazaramba yang kini berusia 58 tahun mencari suaka ke Finlandia sejak tahun 2003. Tapi ia tidak bisa lolos dari tuduhan genosida dan harus menjalani proses persidangan di Finlandia. Persidangan digelar di Finlandia karena otoritas berwenang Finlandia tidak yakin Bazaramba akan mendapatkan proses hukum yang fair jika dilaksankan di Rwanda. Itulah sebabnya, Finlandia menolak ekstradisi Bazaramba. Kebetulan, hukum Finlandia membolehkan persidangan warga negara asing yang ditahan atau tertangkap di negaranya.

Mengenakan setelan jas rapi berwarna abu-abu, Bazaramba duduk dengan tenang di kursi terdakwa. Ia tidak terlihat terganggu dengan kilatan lampu kamera jurnalis yang diarahkan padanya dan tidak menampakkan air muka emosional atau takut meski ia terancam hukuman seumur hidup jika tuduhan padanya terbukti.

Tim jaksa penuntut menuding Bazaramba aktif dalam gerakan etnis Hutu dan pimpinan pemuda Gereja Baptis di Nyakizu, Rwanda ketika pertikaian sektarian antara suku Hutu dan Tutsi pecah di negara itu. Bazaramba dituduh terlibat dalam pembantaian etnis Tutsi di wilayah Nyakizu antara bulan April-Mei 1994.

Sidang pertama Bazaramba mendapat perhatian khusus dari sejumlah organisasi pemantau hak asasi manusia, antara lain Amnesty International. "Karena ini adalah pertamakalinya Finlandia menggelar persidangan terkait kejahatan internasional. Finlandia menjadi contoh bahwa sebuah negara bisa menerapkan kewenangan hukumnya terhadap warga negara lain sehingga tidak ada tempat aman bagi para pelaku kejahatan internasional," kata Susana Mehtonen dari Amnesty International.

Namun kuasa hukum Bazaramba, Ville Hoikkala mengungkapkan kekhawatirannya bahwa hakim dalam persidangan itu akan bersikap bias. Karena kasus ini tidak melibatkan juri untuk menentukan keputusan, tapi melibatkan sebuah panel yang beranggotakan empat orang hakim yang dipimpin oleh hakim senior, Lars Karlsson.

Untuk menghindari konflik kepentingan, Lars Karlsson diminta keluar saat tiga juru lainnya menentukan putusan. Atas desakan itu, Karlsson mengatakan tidak keberatan dan akan menerima apapun keputusan ketiga koleganya.

Terkait kasus kliennya, Hoikkala optimis timnya bisa membuktikan bahwa Bazaramba tidak bersalah. "Kami akan bekerja keras dan mengatur strategi lagi untuk menghadapi persidangan," ujarnya.

Ikut hadir di persidangan, anak lelaki Bazaramba bernama Wellars Nsanzimani yang duduk di belakang ayahnya. Wellars selama dua setengah tahun ini setia menjenguk ayahnya di penjara dan mengaku syok mendengar tuduhan yang ditujukan pada ayahnya. Tapi ia optimis ayahnya tidak bersalah.

"Ayah kelihatan baik-baik saja, percaya diri dan positif dengan segala hal, dan kami juga bersikap begitu," tukas Wellas.

Persidangan pertama dibuka dengan mendengarkan secara detil tentang kasus yang melibatkan Bazaramba. Besar kemungkinan pengadilan ini juga akan dilanjutkan di Kigali, ibukota Rwanda untuk mendengarkan keterangan saksi mata di Rwanda yang akan menentukan nasib Bazaramba. (ln/aljz)