Kasus Libya: Ingin Kekuasaan Aman, Maka Tunduklah pada AS

Pemerintahan Bush pada Senin (15/5) kemarin mengumumkan pemulihan hubungan diplomatiknya dengan Libya dan akan menghapus nama negara itu dari daftar negara-negara yang menurut AS mendanai terorisme.

Bagi pemerintahan Bush, pemulihan hubungan ini ingin dijadikan pelajaran bagi negara-negara seperti Iran dan Korea Utara. Bush ingin mengatakan, ‘hentikan program nuklir anda seperti yang dilakukan pemimpin Libya Muammar Qadhafi, dan anda akan mendapatkan keuntungan dari hubungan politik dan ekonomi dengan AS.’

Tapi bagi para pakar yang mengamati perjalanan diplomasi di Timur Tengah dan non proliferasi, termasuk mereka yang terlibat dalam masalah Libya, pembicaraan-pembicaraan secara langsung dan jaminan keamanan yang menjadi dasar trasnformasi Libya dari negara pengembang nuklir dan pemberi dana pada terorisme, bukanlah sebuah ancaman besar.

"Negosiasi langsung sangat penting dalam mengubah Libya untuk mengubah caranya, karena itulah yang menjadi keyakinan Qadafi bahwa jika ia benar-benar mengubah kebijakannya, maka kami (AS) tidak perlu menumbangkan rejim itu," kata Bruce Jentleson yang bekerja di departemen luar negeri pada masa pemerintah Clinton, masa munculnya inisiatif untuk melakukan pembicaraan rahasia dengan Libya.

"Pelajaran dari pemulihan hubungan ini adalah, ketika dirasa perlu menggunakan kekuatan sebagai latar belakang maka ini menjadi kisah suksesnya proses diplomasi yang serius," sambung Bruce.

Bagi Timur Tengah sendiri, sudah menduga bahwa AS pada akhirnya akan memulihkan hubungan diplomatiknya dengan Libya. Namun kalangan di Timur Tengah menilai langkah itu sebagai kemunduran bagi upaya demokratisasi AS dan merupakan cara AS untuk mendapatkan akses ke ladang-ladang minyak di wilayah itu menyusul makin memburuknya krisis energi yang dialami negara Paman Sam itu.

Kalangan yang mengecam langkah AS dan Libya mengungkapkan kekhawatirannya bahwa Qaddafi akan memanfaatkan status barunya sebagai partner AS untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya sebagai pemimpin Libya dan membungkam kalangan yang menginginkan reformasi di Libya.

"Anggapan yang akan muncul di kalangan masyarakat Arab dan Muslim dunia adalah, bahwa prioritas pemerintahan Bush sebenarnya bukanlah menyebarkan demokratisasi, tapi yang utama adalah keamanan dan kerjasama dalam masalah terorisme," kata Fawaz Gerges, seorang pakar di Saran Lawrence College, Bronxville, New York.

Jentleson yang sekarang menjadi profesor bidang kebijakan publik di Terry Sanford Institute, Duke University, mengatakan,"Faktornya adalah minyak, tapi ini tidak sekrusial faktor keamanan," katanya.

Menurut Jentleson, AS tidak dengan terang-terangan mengungkap alasan keamanan karena Qaddafi dianggap sudah melakukan transformasi secara penuh, meski secara khusus AS tetap tidak menyukai tokoh Libya ini. "Tapi Qaddafi menginginkan kekuasaannya tetap aman dan ia bersedia menghentikan apa yang menurut kami sangat penting, maka tercapailah kesepakatan," paparnya.

Kasus Libya Tidak Sama dengan Iran

Meski pemerintahan Bush menyerukan negara-negara yang berseberangan dengan AS meniru langkah Libya, para pakar menilai aplikasinya akan sulit dilakukan karena kasus berbeda untuk setiap negara.

"Saya tidak melihat kasus ini tidak cukup baik untuk diterapkan juga pada negara lain seperti yang sekarang ada dalam pikiran setiap orang, sebagian karena tidak ada isu-isu yang mendesak dalam agend AS dan Libya," kata Jon Alterman, seorang pakar di Center for Strategic and Internasional Studies. Ia menilai masalah Libya ada masalah yang ‘unik.’

"Iran sudah melakukan pembicaraan dengan AS, khususnya ketika pemerintah Bush memutuskan bahwa Iran bisa membantu dalam persoalan Afghanistan. Tapi itu tidak berarti sebuah tahap sudah dilewati untuk sebuah ‘pencapaian kemajuan’ seperti yang terjadi dalam kesepakatan antara AS dan Libya," sambung Alterman.

Ia menambahkan, pemulihan hubungan antara Libya dan AS seharusnya bisa mendongkrak ‘kredibilitas’ AS di mata rejim-rejim pemerintahan yang oleh AS dianggap bisa mengikuti langkah Libya sebagai bagian dari tawar-menawar. Tapi menurut Alterman, rintangan untuk mencapai kemajuan yang sama dalam masalah Iran terlalu berat.

"Ada banyak persoalan yang tidak ingin ditangguhkan oleh pemerintahan Bush, bukan ancaman non proliferasi, bukan dukungan terhadap terorisme dan bukan masalah dukungan atas serangan terhadap tentara AS di Irak," ujar Alterman. (ln/CSM)