Kekacauan di Iran dan "Operasi Ajax" CIA

Situasi di dalam negeri Iran pasca pemilu presiden yang dimenangkan Mahmoud Ahmadinejad memprihatinkan. Kekisruhan berawal dari aksi protes para pendukung Mir Hussein Mousavi yang menyatakan tidak puas dengan hasil pemilu dan menuding pelaksanaan pemilu yang digelar pekan kemarin diwarnai kecurangan.

Wacana adanya kecurangan pemilu di Iran makin panas setelah negara-negara yang selama ini dikenal memusuhi Iran ikut-ikutan berkomentar negatif atas hasil pemilu di Iran. Ditambah lagi pemberitaan media massa Barat yang menyudutkan kemenangan Ahmadinejad dan memojokkan Iran atas kekisruhan yang terjadi di dalam negerinya.

Melihat apa yang terjadi di Iran hari ini dan bagaimana peran media Barat mengekspos pemberitaan Iran, mirip dengan apa yang terjadi di Iran saat terjadi peristiwa penggulingan pemerintahan perdana menteri Mohammad Mossadegh yang terpilih lewat proses yang demokratis di Negeri Para Mullah itu. Dan dalang penggulingan itu adalah agen intelejen AS, CIA bekerjasama dengan agen intelejen Inggris, MI6 yang berhasil memperalat Shah Iran, Reza Pahlevi dan kelompoknya untuk menggulingkan pemerintahan Mossadegh yang sah. CIA dan MI6 menggelar operasi khusus dengan memanfaatkan kekuatan media dan massa untuk menghasut rakyat Iran agar tidak mempercayai lagi kepemimpinan Mossadegh.

Inggris tentu saja punya alasan untuk merancang rencana "kudeta" terhadap pemerintahan Mossadegh dengan melibatkan AS. Inggris ternyata tidak senang dengan kebijakan Mossadegh yang melakukan nasionalisasi industri minyak di Iran, karena kebijakan itu menyebabkan kerugian besar bagi perusahaan minyak Anglo Iranian Oil Company (AIOC)-sekarang British Petroleum (BP)-yang sejak tahun 1931 diberi hak monopoli dan konsesi penuh pengelolaan sumber minyak Iran.

Sementara Mossadegh adalah seorang doktor yang menganut prinsip anti-kapitalisme. Oleh sebab itu, sejak berkuasa pada tahun 1951, ia menerapkan kebijakan nasionalisasi minyak Iran untuk meningkatkan devisa negara Iran. Karena selama ini, AIOC lah yang paling banyak menerima porsi dari keuntungan penjualan minyak Iran.

Iran memang harus menerima konsekuensi atas kebijakan Mossadegh itu. Produksi minyak Iran jadi menurun karena AIOC menghentikan produksinya dan ini artinya, pendapatan Iran dari hasil ekspor minyak juga terganggu. Krisis minyak di Iran juga menyebabkan krisis minyak dunia. Kondisi ini diperparah dengan sikap Inggris yang "sakit hati" dengan kebijakan Mossadegh. Untuk membalas Iran, Inggris bersekutu dengan AS memblokade Teluk Persia sampai ke Selat Hormuz yang menjadi jalur utama lalu lintas minyak dunia dan lalu lintas perdagangan serta ekonomi Iran.

AS bersedia membantu Inggris, juga karena punya kepentingan sendiri di Iran. AS tidak suka melihat kedekatan Iran dengan musuh bebuyutan AS ketika itu, Uni Soviet dan ingin mengakhiri hubungan mesra Iran dengan blok Timur. Tapi tidak mudah bagi Inggris membujuk AS agar menerima ajakannya untuk menjatuhkan Mossadegh di Iran. Ajakan Inggris itu ditolak AS pada masa pemerintahan Presiden Harry S. Truman. Rencana "kudeta" baru terwujud ketika AS di pimpin oleh Presiden Eisenhower, pengganti Truman.

Operasi Ajax

Setelah terjadi kesepakatan antara Inggris-AS. CIA menugaskan seorang agennya bernama Kermit Roosevelt Jr-cucu mantan presiden AS Theodore Roosevelt untuk merancang operasi intelejen menggulingkan Mossadegh yang diberi nama "Operasi Ajax". Sebagai pimpinan operasi, CIA menunjuk  Donald Wilber.

CIA memulai operasi itu dengan cara menghasut rakyat Iran agar pro-Barat, menghembuskan berbagai isu untuk melemahkan dukungan rakyat terhadap Mossadegh dan mempengaruhi sejumlah perwira di angkatan bersenjata Iran. Tapi upaya kudeta CIA yang  dilakukan pada tanggal 15 Agustus 1953 gagal, karena keburu tercium oleh para pejabat militer Iran yang loyal dengan Mossadegh.

Mossadegh lalu memerintahkan Kepala Staff Keamanan Kabinet, Jenderal Taghi Riahi untuk menyelidiki rencana kudeta itu, yang kemudian mengirim utusan untuk mengabarkan rencana kudeta itu pada pasukan pengawal kerajaan. Tapi CIA berhasil mencegahnya dengan menyogok Jenderal Fazlollah Zahedi-pimpinan kelompok yang pro-Shah Iran-agar menangkap utusan Jenderal Riahi.

Upaya kudeta pertama berhasil digagalkan berkat perlawanan keras pasukan pemerintah Iran. Kermit Roosevelt dan Jenderal Zahedi bahkan melarikan diri ke wilayah utara Iran. Setelah kegagalan itu, CIA merancang rencana kudeta yang lebih baru dengan memanfaatkan media massa. CIA sengaja menyebarkan surat kaleng ke berbagai kantor berita yang isinya menyebutkan bahwa Shah Iran telah mengeluarkan dekrit untuk memecat perdana menteri Mossadegh dan menunjuk Jenderal Zahedi sebagai penggantinya. Tapi upaya ini pun tidak membuahkan hasil karena dukungan dan kepecayaan massa di Iran terhadap Mossadegh ternyata masih sangat kuat.

CIA nyaris putus asa melihat pemerintahan Mossadegh berhasil menangkapi agen-agen mereka yang direkrut di Iran dan menerapkan kebijakan ketat pada media massa. Shah Iran yang awalnya mendukung rencana kudeta CIA, juga melarikan diri ke Baghdad.

Tapi CIA tak mau Operasi Ajax itu gagal. Di Baghdad, CIA berhasil membujuk Shah Iran untuk mengeluarkan dekrit untuk membubarkan pemerintahan Mossadegh. Dekrit yang disiarkan pada tanggal 19 Agustus oleh seluruh media massa itu memicu rusuh massa di Iran yang memaksa Mossadegh melepaskan jabatannya sebagai perdana menteri dan digantikan oleh Jenderal Zahedi.

Oleh CIA, Operasi Ajax untuk menggulingkan Mossadegh yang menjadi salah satu operasi intelejen terbesar AS, dinilai sukses. Shah Reza Pahlevi yang pro Barat kembali ke Iran dan sebagai ucapan terima kasih, Shah mengijinkan kembali AIOC mengelola minyak Iran, bersama lima perusahaan minyak AS, satu perusahaan minyak Prancis dan perusahaan minyak Dutch Royal Shell.

Operasi Ajax yang dilakukan CIA untuk menggulingkan pemerintahan di Iran dirancang dengan cara menimbulkan kerusuhan massa yang berujung pada munculnya mosi tidak percaya terhadap pemerintahan Mossadegh.

Melihat situasi Iran sekarang ini dan melihat sejarah Iran pada masa Mossadegh, menggelitik kita untuk melontarkan pertanyaan, apakah situasi ini murni karena ketidakpuasan sebagian rakyat Iran terhadap hasil pemilu atau ada tangan-tangan asing yang bermain, yang memang ingin menciptakan situasi chaos untuk merongrong kewibawaan pemerintah Iran. Apalagi belakangan ini hubungan antara Barat dan Iran demikian tegang dan Barat tidak menyukai sosok Ahmadinejad yang memenangkan kembali pemilu di Iran.

Terkait situasi terakhir di Iran, pernyataan penulis dan wartawan kawakan Robert Fisk perlu dicermati. Fisk yang meliput langsung aksi demonstrasi di Iran pada situs Al Jazeera mengatakan, tidak semua pengunjuk rasa di Iran mendukung Mousavi. Sebagian besar dari mereka, kata mereka, hanya orang-orang yang sekedar mempertanyakan hasil pemilu.

"Saya pikir tidak semua pengunjuk rasa adalah pendukung Mir Hussein Mousavi, tapi mereka adalah orang-orang yang tidak percaya Ahmadinejad memenangkan pemilu," kata Fisk.

Aksi unjuk rasa di kota Teheran hari ini masih berlangsung dan dikabarkan sudah jatuh korban, tujuh orang tewas.

Patut disayangkan, sikap dunia yang bungkam dan tidak menunjukkan peran aktif dan kritisnya dalam menyikapi situasi terakhir di Iran. Mereka lebih memilih diam dan mengamini tuduhan-tuduhan Barat terhadap Iran. (ln/berbagai sumber)