Kembalinya Era Taliban di Afghanistan, Antara Harapan dan Kekhawatiran

Tekanan yang makin menguat dari dalam negeri terkait perang AS di Afghanistan, membuat Presiden Barack Obama dan sekutunya, NATO mengubah strategi perangnya dengan cara membuka kemungkinan bernegosiasi dengan pihak musuh, Taliban. Pemerintahan AS dan NATO melibatkan Presiden Hamid Karzai–pemerintahan boneka AS di Aghanistan–untuk menjadi mediator negosiasi dengan Taliban.

Sebagian besar rakyat Afghanistan yang sudah lelah dengan situasi perang selama hampir 9 tahun ini, menyatakan mendukung upaya negosiasi yang dilakukan pasukan koalisi asing dengan Taliban. Mereka berharap negosiasi itu akan mengakhiri perang yang telah merusak seluruh aspek kehidupan rakyat Afghanistan. Meski di sisi lain, mereka juga skeptis akan kepemimpinan Taliban.

"Sebagian aturan-aturan yang ditetapkan Taliban ada yang baik, ada juga yang buruk. Jika pemerintah (Afghanistan) bernegosiasi dengan Taliban dan mereka mau menerima hal-hal yang baik, maka negosiasi akan berhasil," kata Abdul Sattar seorang penjaga toko alat-alat tulis di kota Kabul.

Warga Kabul lainnya, Mohammad Kamel yang berprofesi sebagai tukang kayu mengatakan, negosiasi cuma satu cara agar bisa mengendalikan Taliban. "Kalau mereka (Taliban) masuk ke kota Kabul dengan senjata, maka tak satu pun yang bisa mengontrol mereka. Negosiasi cuma salah satu cara, tapi apakah Taliban mau bernegosiasi bahwa mereka tidak akan seperti Taliban di masa lalu …" kata Kamel.

Satu hal yang menurut sejumlah warga Kabul positif di masa kekuasaan Taliban adalah minimnya korupsi. Situasinya berbeda ketika Presiden Karzai berkuasa di Afghanistan setelah Taliban berhasil ditumbangkan oleh pasukan koalisi asing pimpinan AS. Selama pemerintahan Karzai, tindak kriminal dan korupsi merajalela di kalangan para pejabat pemerintah.

"Pemerintah tidak peduli dengan korupsi. Sekarang, jika di kantong Anda ada uang seribu dollar, Anda mungkin merasa khawatir. Tapi di masa Taliban, Anda bisa pegang banyak uang dan tidak perlu merasa khawatir," kata Mohammad Mujtaba yang bekerja di bagian penjualan komputer.

Warga Afghanistan yang memiliki bisnis sendiri, cenderung lebih menyukai era Taliban dibandingkan era Karzai. Namun kekhawatiran akan kembalinya era Taliban dilontarkan oleh kaum perempuan di Afghanistan. Mereka menganggap Taliban banyak menerapkan aturan yang membatasi hak-hak kaum perempuan.

Pemerintahan Karzai mensyaratkan tigal hal dalam negosiasi dengan Taliban, yaitu menghentikan aksi-aksi kekerasan, memutus hubungan dengan Al-Qaida dan menghormati konsitusi Aghanistan khususnya hak-hak kaum perempuan.

Saat masih berkuasa di Afghanistan, Taliban memberlakukan kebijakan-kebijakan ketat seperti melarang dibukanya toko-toko elektronik, melarang musik dan televisi memaksa kaum lelaki untuk berjanggut dan mewajibkan kaum perempuan tinggal di dalam rumah serta mengenakan burka lengkap dengan cadarnya.

Sebagian etnis di Afghanistan juga mengkhawatirkan kembalinya kekuasaan Taliban. Saat berkuasa, Taliban yang mayoritas adalah etnis Pashtun seringkali menindas etnis lainnya yang ada di Afghanistan, seperti etnis Hazara, Tajik dan Uzbek.

"Jika Taliban bisa bekerjasama dengan pemerintah dan menghentikan perang, mengapa tidak? Saya yakin pemerintah tidak akan membiarkan Taliban kembali berkuasa dengan ide-ide Taliban seperti di masa lalu," kata Said Qurban, warga Afghanistan dari etnis Hazara.

Tapi pengalaman panjang upaya pemerintah Afghanistan untuk berunding dengan Taliban, selalu mengalami kegagalan.

"Kami tidak tahu apa yang diinginkan Taliban sekarang. Apa yang diinginkan Karzai dan Taliban berbeda, maka perundingan apa pun tidak akan membuahkan hasil," kata Abdul Hamid, seorang Uzbek.

"Kami tidak peduli pada pemerintah, yang kami inginkan adalah bisa menjalankan bisnis kami dengan bebas," tandasnya. (ln/Rts)