Kolomnis: Disneyland Seharusnya Jadi Teladan Soal Jilbab

Kolomnis Michael Hiltzik dalam artikelnya yang dimuat di Los Angeles Times mengkritik sikap Disneyland terhadap pegawainya yang berjilbab. Menurut Hiltzik, sebagai perusahaan yang besar dan "berpengaruh" Disneyland seharusnya terdepan dalam masalah penerimaan dan penghormatan terhadap pekerja muslim yang berjilbab.

Seperti diberitakan belum lama ini, dua muslimah yang bekerja untuk Disneyland; Imane Boudial dan Noor Abdallah mengajukan gugatan terhadap perusahaan itu karena melarang mereka berjilbab dan sudah diperlakukan diskrimnatif. Boudial yang bekerja di salah satu restoran Disneyland mengaku sudah beberapa kali disuruh pulang dan tidak digaji oleh perusahaannya karena dianggap tidak mematuhi aturan berbusana yang ditetapkan Disneyland.

Kasus ini masih bergulir, meski pihak Disneyland sudah membolehkan mereka mengenakan jilbab yang sudah dirancang khusus. Noor Abdullah yang bekerja di bagian penjualan tiket, akhirnya kembali bekerja setelah bersedia mengenakan jilbab "rancangan khusus" Disneyland dengan tambahan topi baret di kepalanya. Sementara Imane menolak jilbab khusus itu sehingga sampai hari ini tetap "dirumahkan" dan tidak menerima gaji. Ia bersikeras melanjutkan gugatannya ke pengadilan federal.

Dalam kolomnya di Los Angeles Times, Hitlzik menyatakan bahwa persoalan jilbab ini seharusnya tidak perlu berlarut-larut kalau saja pihak Disneyland bersikap terbuka dan mau menerima terhadap karyawannya, terutama yang berlatar belakang muslim. Ia mengakui bahwa pihak Disneyland pada akhirnya membuat kesepakatan-kesepakatan dalam kasus jilbab itu dan dalam kasus dengan kelompok lainnya yang mereka marjinalkan. "Tapi mengapa prosesnya harus sedemikian sulit," kritik Hiltzik.

"Sebagai korporasi yang berpengaruh, Disney punya tanggung jawab untuk memberikan contoh yang baik pada masyarakat, dalam mempromosikan sikap penerimaannya ( terhadap jilbab)," sambung Hitlzik.

Perusahaan besar seperti Disneyland, tambah Hiltzik, seharusnya justru melakukan tindakan menghapus "stigma" terhadap kelompok-kelompok yang beresiko mengalami marginalisasi.

"Saat ini merupakan momen yang penting untuk tidak memperlakukan busana atau adat istiadat kaum Muslimin sebagai hal aneh atau eksotis, di saat para politisi yang sok suci dan tidak bisa dipercaya menjadikan semua hal yang berbau Islam sebagai alat untuk menghasut," kritikHitlzik. (ln/voi)