Krisis Keamanan di Irak, Kabinet al-Maliki Masih Kosongkan Posisi Menhan dan Mendagri

Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki dalam sidang kabinet pertamanya, Senin (22/5) menyatakan akan menggunakan kekuatan ‘maksimum’ untuk mengakhiri kekerasan sektarian dan aksi kekerasan oleh kelompok-kelompok bersenjata di negeri itu.

Untuk itu, al-Maliki menegaskan, penentuan orang yang akan menduduki jabatan menteri pertahanan dan menteri dalam negeri, ‘tidak lebih dari dua atau tiga hari’ ini. Posisi dua kementerian ini masih menjadi pekerjaan rumah al-Maliki, karena ia menginginkan kedua posisi itu dipegang oleh kalangan independen dan tidak berasal dari kelompok-kelompok bersenjata di Irak.

Hal ini penting karena kedua kementerian tersebut akan membawahi angkatan bersenjata dan kepolisian, dan bertanggungjawab untuk memulihkan keamanan di Irak. Selain itu al-Maliki juga ingin siapapun yang akan menduduki kedua jabatan itu, bisa diterima oleh seluruh elemen di kabinetnya yang merupakan koalisi tiga kekuatan utama di Irak yaitu Syiah, Arab Sunni dan Kurdi.

"Kami menyadari tantangan dalam bidang keamanan dan dampaknya. Maka, kami meyakini bahwa untuk menghadapi tantangan itu tidak bisa hanya dicapai dengan penggunaan kekuatan bersenjata saja, meski faktanya kami akan menggunakan kekuatan tersebut secara maksimal untuk melawan para teroris dan pembunuh yang telah menumpahkan darah," kata al-Maliki.

Al-Maliki menyatakan, pemerintahnya memprioritaskan perlucutan senjata terhadap kelompok-kelompok milisi yang diyakini telah menginfiltrasi pasukan keamanan Irak, mendorong adanya rekonsiliasi, memperbaiki infrastruktur negara yang rusak, serta membentuk pasukan keamanan khusus untuk menjaga keamanan kota Baghdad.

Al-Maliki mengutuk apa yang ia sebut sebagai ‘pembersihan sektarian’. Itulah sebabnya ia ingin mengakhiri keberadaan kelompok milisi yang melakukan pembunuhan dan penculikan, dan telah mengganggu stabilitas keamanan di Irak.

Sambutan Atas Terbentuknya Pemerintahan Baru Irak

Meski masih menyisakan pekerjaan besar yaitu memilih menteri pertahanan dan menteri dalam negeri, terbentuknya kabinet pemerintahan baru di Irak disambut positif oleh sejumlah pemimpin Arab. Terutama pemimpin negara-negara yang bertetangga dengan Irak. Selama ini mereka khawatir aksi kekerasan di Irak akan meluas ke wilayah sekitarnya dan bisa mendorong kelompok ekstrim di negara bersangkutan menjadikan Irak sebagai basis latihan dan akhirnya akan menimbulkan kekacauan di dalam dalam negerinya masing-masing.

Raja Yordania, Abdullah II mengungkapkan harapannya bahwa pemerintahan Irak yang dipimpin al-Maliki membuktikan ‘langkah kedepan yang signifikan untuk membentuk Irak yang baru dan mampu memenuhi aspirasi semua rakyatnya bagi kehidupan yang lebih baik, demokratis, pluralis dan kesatuan nasional yang lebih kuat.

Sementara Sekjen Liga Arab Amr Moussa menilai kabinet baru Irak, bisa membuka jalan bagi sebuah konferensi di Irak yang menghadirkan semua perwakilan etnis dan kekuatan politik di negeri itu, paling cepat bulan Juni mendatang.

Pemimpin Kuwait, Emir Syeikh Sabah Al-Ahmed Al-Sabah menyatakan harapannya agar kabinet baru Irak segera dilengkapi dan para anggota kabinet bisa menunjukkan kemampuannya untuk membangun Irak.

Perselisihan internal di kalangan faski politik di Irak, membuat al-Maliki menunda penunjukkan menteri pertahanan dan menteri dalam negeri dalam jajaran kabinetnya yang sudah diambil sumpah pada Sabtu (20/5).

Kalangan Arab Sunni menginginkan adanya keseimbangan antara kementerian pertahanan yang memiliki wewenang kontrol terhadap angkatan bersenjata Irak dan kementerian dalam negeri yang memegang kontrol kepolisian. Sedangkan al-Maliki menginginkan adanya akselarasi perekrutan anggota angkatan bersenjata dan kepolisian yang akan dilatih dalam upaya mempercepat penarikan mundur pasukan koalisi AS dari Irak.

Duta besar AS, Zalmay Khalizad mengatakan, pemerintahan baru di Irak harus bisa mengarahkan menteri-menteri bidang keamanannya untuk melakukan transformasi sehingga mereka mendapat kepercayaan dari rakyat Irak.

"Enam bulan kedepan akan menjadi waktu yang benar-benar kritis bagi Irak," kata Khalizad dalam wawancaranya dengan Associated Press.

Dari Washington, Menlu AS Condoleezza Rice mendesak al-Maliki untuk menunjuk dua orang yang akan memegang jabatan menteri pertahanan dan menteri dalam negeri dalam waktu lima atau 6 hari kedepan.

Sementara Presiden AS George W. Bush pada hari Minggu (21/5) menyatakan dukungannya lewat telepon terhadap kabinet al-Maliki.

"Saya memahami sepenuhnya bahwa Irak yang merdeka akan menjadi sekutu yang penting dalam perang menghadapi terorisme, akan menjadi kekalahan besar bagi kelompok teroris dan Al-Qaidah, dan akan menjadi contoh bagi negara lain di wilayah itu yang ingin bebas," kata Bush.

Aksi Kekerasan di Irak

Masalah keamanan memang menjadi tantangan berat pemerintahan baru Irak. Tak berapa lama usai rapat kabinet pertama, terjadi aksi bom bunuh diri yang menewaskan sedikitnya 13 orang dan melukai 17 orang lainnya. Bom bunuh diri itu menghancurkan restoran Safar di kota Baghdad yang sedang penuh pengunjung dan sangat populer di kalangan petugas kepolisian di kota itu. Di antara korban tewas, tiga di antaranya adalah anggota polisi.

Bom lainnya meledak di sebuah pasar buah yang ramai di wilayah Baghdad Baru, sebuah wilayah yang didiami oleh campuran warga Arab Sunni, Syiah dan warga Kristen di bagian timur kota Baghdad. Aparat kepolisian menemukan bom pertama yang berhasil dizinakkan setelah mengevakuasi warga di pasar, tapi bom kedua yang tidak ditemukan meledak tak lama kemudian, menewaskan tiga warga sipil dan 23 orang lainnya luka-luka.

Sebuah bom yang targetnya aparat patroli polisi juga meledak di sebelah barat laut Baghdad menewaskan seorang pejalan kaki dan melukai 15 orang lainnya. (ln/guardian)