Muntahar al Zaidi: Mengapa Saya Melemparkan Sepatu Kepada Bush

Muntahar Al-Zeidi, wartawan Irak yang melemparkan sepatu kepada Presiden AS George W. Bush,dibebaskan dari penjara satu pekan yang lalu. Al-Zeidi dihukum tiga tahun penjara namun hukuman itu kemudian dikurangi menjadi satu tahun. Banyak yang ingin tahu apa gerangan motif penyerangannya terhadap Bush yang kemudian menjadi kejadian bersejarah itu. Berikut penuturannya yang dikutip dari guardian.

___________________________________________________________________________

Sekarang saya bebas. Tapi negara saya masih menjadi tawanan perang. Telah ada banyak pembicaraan mengenai aksi yang saya lakukan, dan tentang pahlawan dan kepahlawanan, dan simbol dan tindakan simbolik. Tapi, sederhana saja, jawaban saya: apa yang memaksa saya untuk bertindak seperti itu adalah ketidakadilan yang menimpa rakyat saya, dan bagaimana para penjajah hanya ingin mempermalukan tanah air saya dengan menginjak-injaknya.

Selama beberapa tahun terakhir, lebih dari satu juta orang telah mati oleh peluru penjajah dan Irak sekarang dipenuhi lebih dari lima juta anak-anak yatim, jutaan janda dan ratusan ribu orang cacat. Banyak jutaan orang yang kehilangan tempat tinggal di dalam dan di luar negeri.

Kami pernah menjadi suatu bangsa di mana orang Turki dan Kurdi dan Asiria dan Sabean dan Yazid berbagi roti setiap harinya. Terlepas dari kenyataan bahwa kami berbagi rasa lapar di bawah sanksi selama lebih dari satu dekade. Kesabaran dan solidaritas kami tidak membuat kami lupa penindasan. Tapi penjajahan mencerai-beraikan kami, saudara dari saudara, tetangga dari tetangga. Mengirim rumah kita ke tenda pemakaman.

Saya bukan pahlawan. Tapi saya punya sudut pandang. Saya punya sikap. Memalukan sekali melihat negara saya begitu terhina, Baghdad dibakar, dan rakyat kami dibunuh. Ribuan peristiwa tragis berkelebat di kepala saya, mendorong saya untuk melakukan konfrontasi. Skandal Abu Ghraib. Pembantaian Fallujah, Najaf, Haditha, Sadr, Basra, Diyala, Mosul, Tal Afar, dan setiap jengkal tanah kami yang terluka. Saya berjalan di atas tanah yang terbakar dan melihat dengan mata kepala sendiri penderitaan para korban, mendengar dengan telinga saya sendiri jeritan para anak yatim dan yang berduka. Dan perasaan malu menghantui saya dengan buruk karena saya tak berdaya.

Selalu setelah saya menyelesaikan tugas profesional dalam melaporkan tragedi sehari-hari, sementara saya menghanyutkan sisa-sisa puing-puing reruntuhan rumah Irak, atau darah yang menodai pakaian, saya selalu menggeretakkan gigi dan membuat janji untuk korban kami, janji balas dendam.

Kesempatan itu datang, dan saya menerimanya.

Saya mengambilnya dari kesetiaan kepada setiap tetes darah orang tidak bersalah yang telah tertumpah melalui pekerjaan saya, setiap jeritan ibu yang berduka, setiap erangan anak yatim piatu, kesedihan dari korban pemerkosaan, atau tetesan air mata anak yatim.

Saya berkata kepada orang-orang yang mencela saya: apakah Anda tahu berapa banyak rumah yang rusak? Berapa kali sepatu-sepatu mereka telah menginjak darah korban yang tidak bersalah? Mungkin sepatu adalah respons yang tepat ketika semua nilai itu dilanggar.

Ketika saya melemparkan sepatu dalam terhadap George Bush, saya ingin menyampaikan penolakan terhadap kebohongannya, dengan penjajahan terhadap negara saya, penjarahan kekayaan negara saya, penghancur infrastrukturnya, dan pengusiran para anak laki-laki kami yang menjadi tak tentu arah.

Jika saya menyelewengkan tugas jurnalisme, saya mohon maaf. Semua yang saya lakukan hanya mengekspresikan dengan hati nurani dari perasaan seorang warga negara yang melihat tanah airnya dinodai setiap hari. Profesionalisme ditangisi di bawah naungan penjajahan yang tidak boleh memiliki suara lebih keras daripada suara patriotisme. Dan jika patriotisme perlu untuk berbicara, maka profesionalisme harus bersekutu dengan itu.

Saya tidak melakukannya supaya nama saya masuk sejarah atau untuk keuntungan materi. Yang saya inginkan adalah untuk membela negara saya. (sa/guardian