Palestina Harus Mengakui Israel

Tak pernah berubah kebijakan luar negeri AS, yang berkaitan dengan masalah Palestina. Karena, yang menjadi pijakan dasar kebijakan AS, hanyalah kepentingan Zionis-Israel. Maka, mengharapkan perubahan di Timur Tengah, dan khususnya Palestina adalah hal yang sangat sia-sia belaka.Menlu AS, Hallary R.Clinton memberikan syarat, yang pasti akan menciptakan persoalan yang sangat rumit, bagi pemerintahan persatuan Palestina, yang akan dibentuk.

Tiga syarat yang diajukan adalah sifatnya mutlak, yang tidak boleh ditolak oleh pemerintahan persatuan, yang sekarang dalam proses negosiasi dengan faksi-faksi Palestina, yang dijembatani oleh Mesir. Tiga syarat itu, pertama pemerintahan Palestina yang baru harus bersedia mengakui eksistensi Israel, kedua, meninggalkan segala tindakan yang disebut oleh Clinton, sebagai tindakan teroris, dan ketiga, menerima perjanjian antara fihak Palestina dengan Israel yang telah ditandangani sebelumnya.

Pemerintahan AS dibawah Obama ini, tak lain hanyalah pemerintahan yang menjalankan misi Zionis-Israel, karena secara eksplisit, Clinton mensyaratkan, bila Hamas ingin terlibat dalam pemerintahan persatuan nasional yang akan datang, harus menerima tiga syarat tersebut. Pemerintah AS, termasuk anggota ‘Kuartet’ dan Liga Arab, serta pertemuan KTT ‘mini’, yang berlangsung Riyad, Arab Saudi, yang dihadiri Hosni Mubarak, Bassar al-Assad, serta Raja Abdullah, selain ingin ikut menekan Hamas, agar mengakui Israel dan meninggalkan perjuangan militernya, juga ingin membentuk blok baru, yang selaras dengan kepentingan AS dan Israel, khususnya dalam menghadapi Iran.

Skenario yang sekarang dijalankan AS, bersamaan munculnya pemerintahan baru di Israel, di bawah partai sayap kanan, maka pemerintahan AS di bawah Obama, menyesuaikan diri kebijakan luar negerinya, sejalan dengan keinginan dari partai sayap kanan Likud dibawah Perdana Menteri Benyamin Netanyahu. Bahkan, seperti dikutip oleh harian Jepang Asahi Shimbun, Presiden Syria, Bassar al-Assad, menegaskan akan melakukan negosiasi langsung dengan Israel, soal Dataran Tinggi Golan. Ini menjadi indikator penting bahwa Timur Tengah, di era Obama, sedang menuju kearah kekuatan regional baru, yang lebih mendekati kepentingan Amerika, yang menjalankan misi pemerintahan sayap kanan Israel, dibawah  Netanyahu.

Sebelumnya, dua pejabat Deparlu AS, yang keduanya tak lain tokoh-tokoh yang pro-Israel, yang dikirim ke Syria, adalah Jeff Feltman, Deputi Menlu untuk Urusan Timur Jauh, dan Dan Shapiro dari Dewan Keamanan Nasional (NSC), yang merupakan dua pejabat tertinggi AS, yang berkunjung ke Syria, sejak kedua negara itu mengalami hubungan yang memburuk. Amerika ingin membawa Syria ke blok moderat (pro AS-Israel), dan meninggalkan Iran.

Langkah strategis AS ini tak lain ingin mengubah seluruh peta politik Timur Tengah.Langkah-langkah strategis yang dilakukan AS melalui Menlu Clinton ini, meminimalkan ancaman bagi Israel, khususnya yang datang dari Iran, Hamas, dan Hislbullah.

Israel melalui Washington terus menciptakan insinuasi yang menyesatkan dan menakutkan bagi para pemimpin Arab atas ancaman yang dari Iran,yang sekarang ini mempunyai kemampuan nuklir, dan Hamas, serta Hisbullah,yang terus tumbuh sebagai sebuah kekuatan militer, yang penting di kawasan dekat Israel. (m/jp)