Para Penghasut, Kalangan Neo-Con AS Akui Kesalahannya atas Perang AS di Irak

Kebenaran suatu saat akan terungkap dan akan menjadi pemenang, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang kini terjadi di AS terkait invasi negara itu ke Irak.

Surat kabar The Independent, terbitan Kamis (9/3), menurunkan laporan tentang pernyataan sejumlah kelompok neo konservatif yang cukup berpengaruh yang intinya mengakui bahwa mereka sudah membuat kesalahan besar atas peran mereka yang mendorong AS untuk menginvasi Irak.

Dalam laporannya, The Independent menulis, setelah tiga tahun menjual perang AS pada pemerintahan Bush dan publik Amerika, sejumlah tokoh neo konservatif yang cukup berpengaruh menyatakan perubahan pemikiran mereka dan mengakui bahwa Irak saat ini, lebih berbahaya dibandingkan Irak sebelum invasi yang kini berubah menjadi penjajahan atas Irak.

Gorge Will, seorang kolomnis dari kalangan konservatif, kini dengan nada suram menyatakan bahwa negara Irak, Iran dan Korea Utara, tiga negara yang oleh Presiden AS George W. Bush disebut sebagai Poros Setan, saat ini lebih berbahaya dibandingkan dengan ketika istilah Poros Setan itu diciptakan Bush pada 2002.

William buckley, editor terkemuka di The National Review, juga akhirnya mengakui bahwa ‘AS sudah gagal mencapai tujuan-tujuannya di Irak.’

Andrew Sullivan, komentator terkenal ikut menyatakan rasa pesimisnya. Dalam kolom yang ditulisnya untuk majalah Time minggu ini, Sullivan mengatakan, kekacauan yang terjadi saat ini merupakan wasiat terakhir atas keyakinan AS yang berlebihan dan asumsi-asumsi yang salah, yang lahir dari sikap naif dan arogansi AS.

Dalam bukunya yang akan diterbitkan, berjudul America at the Crossroads, Francis Fukuyama menyimpulkan warisan kalangan neo konservatif tentang demokrasi dan kekuasaan sudah dengan fatal teracuni.

Fukuyama, intelektual yang pada tahun 1997 menandatangani ‘Project for the New American Century’ (PNAC) ini, dikenal sebagai penyusun manifesto neo konservatisme. Dan sekarang tokoh intelektual yang cukup terpandang ini, menganggap pengakuan kalangan neo konseravtif yang meyakini bahwa mereka bisa membuat sejarah dengan mengkombinasikan kekuasaan dengan pemaksaan kehendak, sebagai sebuah lelucon yang lucu.
Dalam buku barunya, Fukuyama membeberkan bagaimana AS-seperti tertuang dalam PNAC-ingin tetap dipandang sebagai pemenang dalam masa perang dingin dan untuk itu AS tidak segan-segan menghabiskan dana bagi sektor pertahanan, melawan rejim-rejim yang dianggap membahayakan kepentingan AS dan berdalih lewat penegakkan demokrasi dan kebebasan ke seluruh dunia. Tujuan dari itu semua adalah menciptakan ‘tatanan dunia internasional yang bersahabat bagi kepentingan nilai-nilai, keamanan dan kemakmuran’ AS semata.

Dan perang Irak, lewat pembenaran ancaman senjata pemusnah massal oleh pemerintahan Saddam Hussein, menjadi ajang uji coba teori itu. Perang Irak bahkan dipuji-puji sebagai obat mujarab bagi setiap penyakit di Timur Tengah. Jalan menuju Yerusalem, menurut kalangan neo konservatif, harus melalui Baghdad. Dan setelah Irak, sasarannya adalah Suriah, Iran dan siapa saja yang mencoba menghalangi jalan AS. Atas semua, Fukuyama kini mengakuinya sebagai sebuah kesombongan AS yang tragis.

Kesalahan kalangan neo konseravtif lainnya yang fatal adalah, pernyataan-pernyataan bernada sumbang yang terlalu berlebihan paska peristiwa 11 September, tentang ancaman Islam radikal untuk membenarkan doktrin mereka bahwa perang dilakukan untuk mencegah ancaman Islam radikal tersebut.

Bush Ditinggalkan Teman-Temannya

Pada kenyataannya, tulis The Independent, fakta menunjukkan bahwa para pembuat kebijakan Bush untuk masa depan AS yang menandatangani PNAC 9 tahun yang lalu, kebanyakan sudah meninggalkan Bush. Paul Wolfowitz, orang yang dulu paling vokal atas kampanye perang AS, kini sudah pindah ke Bank Dunia dan memilih diam atas kekacauan yang sudah banyak diciptakannya. Richard Perle, salah seorang ketua di think-tank AS American Enterprise Institute, kini seakan lenyap dari peredaran. Lewis Libby, yang mengundurkan diri sebagai staf wakil presiden Dick Cheney, sekarang lebih memfokuskan perhatiannya untuk menghindari ancaman hukuman penjara.

Penandatangan PNAC lainnya adalah Zalmay Khalilzad, saat ini menjabat duta besar AS untuk Irak. Toko neo konservaif AS kelahiran Afghanistan ini, juga mengakui bahwa invasi AS ke Irak telah membuka ‘kotak pandora’ yang bisa menyebabkan konflik di Irak meluas ke seluruh Timur Tengah.

Tokoh lainnya yang masih bertahan di pemerintahan adalah Dick Cheney dan Donald Rumsfeld, meski kedua tidak secara penuh dianggap sebagai tokoh konservatif, tapi keduanya sangat menaruh perhatian untuk melindungi kepentingan nasional AS di masa depan dari kekerasan dan dunia yang tanpa hukum, meski harus menghalalkan segala cara.

Sementara Condoleeza Rice, tulis Fukuyama, meski bukan penandatangan PNAC, tapi seorang simpatisan neo konservatif ketika masih menjadi penasehat keamanan Bush. Rice mengalami metamorphosis menjadi seorang yang pragmatis ketika tugasnya berpindah dari Gedung Putih ke Departemen Luar Negeri AS.

Sekarang, neo konservatisme masih bertahan lewat mulut George W. Bush-yang memanfaatkan isu komitmen terhadap penyebaran demokrasi dan kebebasan untuk memberantas tirani di seluruh dunia. Meski demikian, kampanye Bush itu tidak bisa menghapus ironi yang dilakukan AS di Irak. (ln/iol/TheIndependent)