Pengakuan Dua Dokter Norwegia Tentang Kekejian Israel di Jalur Gaza

Dua dokter Norwegia menggambarkan kekejian pasukan Zionis di Jalur Gaza sama dengan tragedi pembantaian di kamp pengungsi Palestina Sabra dan Shatila di Libanon pada tahun 1982. Meski tidak ada data yang pasti tentang jumlah korban dalam tragedi itu, jumlah pengungsi Palestina yang gugur akibat pembantaian keji itu mencapai 2.000 orang.

Kalau dalam peristiwa Sabra Satila Israel memanfaatkan kelompok milisi Kristen Libanon untuk membantai pengungsi Palestina, dalam kasus Gaza, Israel sendiri yang langsung mengerahkan pasukannya untuk membantai warga Gaza.

Peristiwa Sabra-Shatila, terjadi ketika Israel yang mengambil kontrol kamp pengungsi Sabra-Shatila mengijinkan milisi Kristen Libanon Phalangis masuk ke kamp pengungsi tersebut dan membantai penghuninya, para pengungsi Palestina, selama tiga hari di depan mata tentara-tentara Israel yang sama sekali tidak berusaha menghentikan pembantaian itu.

"Gaza tahun 2009 menjadi bab berdarah baru dalam sejarah Palestina dan Timur Tengah dan bisa dibandingkan dengan peristiwa Sabra dan Satila," kata Mads Gilbert pada para wartawan di bandara Gardermoen, Oslo.

Dokter Gilbert dan rekannya dokter Erik Fosse, kembali ke Norwegia setelah 10 hari menjalankan tugas kemanusiaan di Jalur Gaza. Mereka mengatakan bahwa 90 persen korban luka yang dirawat di Rumah Sakit Shifa di Gaza, adalah warga sipil terutama anak-anak dibawah usia 18 tahun dan kaum perempuan.

"Kami berharap, tidak akan pernah melihat hal seperti ini lagi," sambung Gilbert yang bertugas ke Libanon saat peristiwa Sabra dan Shatila terjadi.

Ia menegaskan, bombardir Israel harus segera dihentikan dan perbatasan-perbatasan harus dibuka agar warga sipil bisa mendapatkan makanan, air dan bisa mencari tempat yang aman.

Kedua dokter itu juga mengungkapkan kembali kecurigaannya bahwa Israel telah menggunakan senjata berbahaya dalam serangannya ke Jalur Gaza. "Ada kecurigaan kuat, saya pikir Gaza sekarang ini sedang dijadikan laboratorium untuk menguji senjata-senjata baru Israel," kata Gilbert.

Menurut kedua dokter itu, mereka melihat jelas indikasi penggunaan Dense Inert Metal Explosives (DIME)-sebuah bentuk eksperimen bahan peledak-di Jalur Gaza. "Itu merupakan generasi baru peledak yang bentuknya kecil tapi memiliki kekuatan yang luar biasa dan bisa menghambur sampai jarak lima atau 10 meter," ungkap Gilbert, 61.

Ia menambahkan, "Kami belum pernah melihat korban-korban yang diakibatkan oleh ledakan bom secara langsung, karena biasanya mereka meninggal dan tubuh mereka sudah hancur menjadi serpihan daging. Tapi kali ini kami melihat tubuh korban yang teramputasi secara brutal, tapi kami tidak menemukan luka bekas pecahan bom dan kami menduga kuat hal itu disebabkan oleh senjata DIME."

Gilbert mengatakan, Israel harus berterus terang senjata-senjata apa yang mereka gunakan. Dunia internasional, kata Gilbert, juga harus melakukan penyelidikan atas senjata-senjata mematikan yang telah digunakan Israel untuk membantai rakyat Palestina di Gaza. (ln/aby/iol)