PM Malaysia: Perdebatan Etnis dan Agama Sudah Mengkhawatirkan

PM Malaysia Abdullah Badawi menyatakan akan mengambil tindakan tegas bagi siapa saja, baik Muslim dan non Muslim yang berani mempertanyakan status Islam atau menghasut dengan cara melontarkan "ancaman dan tuduhan palsu."

Ia mengaku prihatin dengan melihat makin merebaknya perdebatan terkait isu-isu ras dan agama yang menimbulkan polemik di Malaysia. Menurut Badawi, situasinya sudah mencapai tahap yang mengkhawatirkan. Ia pun meminta agar kalangan etnis China dan India tidak lagi mempertanyakan soal hak-hak istimewa mereka.

Negara Jiran Malaysia adalah negara yang penduduknya berasal dari beragam etnis. Mayoritas, atau sekitar 60 persen dari 27 juta penduduk Malaysia adalah Muslim, disusul oleh penganut Kristen, Budha dan Hindu.

Jajaran pemimpin partai United Malays National Organization (UMNO) lainnya seperti Rafidah Aziz yang juga menteri kabinet Badawi melontarkan kekhawatiran serupa. Rafidah mengatakan, konstitusi negara Malaysia sudah mengatur posisi dan hak-hak rakyat Malaysia dan tidak perlu diperdebatkan lagi.

Ketua gerakan pemuda UMNO, Hishamuddin Hussein menyerukan agar masyarakat Malaysia tetap berkepala dingin dalam memperdebatkan masalah-masalah yang terkait dengan agama dan etnis.

"Kita harus ingat bahwa kita tidak bisa membangun Malaysia berdasarkan pemikiran-pemikiran yang sempit, chauvinisme dan ekstrimism. Ini adalah peringatan bagi semua pihak bahwa di bawah permukaan, hal-hal semacam ini masih sangat rapuh," katanya.

SMS yang Menghebohkan

Perdebatan soal agama dan ras di Malaysia belakangan ini memang sedang memanas, dipicu oleh tersebarnya SMS yang berisi informasi tentang adanya pembaptisan massal terhadap 600 warga Muslim di negara bagian Perak. SMS itu telah menimbulkan aksi protes lebih dari 300 warga Muslim yang berunjuk rasa di depan Gereja Our Lady of Lourdes di Ipoh, Perak pada 5 November kemarin. Mereka meminta pembaptisan itu dihentikan.

Para pengamat di Malaysia menilai peristiwa itu menunjukkan bahwa Malaysia yang multi etnis rawan dengan isu-isu bernuansa ras dan agama, terutama dengan makin timpangnya kondisi sosial ekonomi.

"Unjuk rasa merupakan ekspresi dari rasa frustasi terhadap sistem dan pemerintah yang mereka pandang telah menyebabkan dan memperburuk ketimpangan itu," kata Dr Jeyakumar Devaraj, anggota Komite Sentral Partai Sosialis di Malaysia pada situs Islamonline.

"Para pengunjuk rasa semata-mata ingin menunjukkan rasa frustrasinya terhadap kemapanan dan terhadap apa yang mereka lihat sebagai pengabaian pemerintah yang seharusnya bertanggungjawab atas kesejahteraan dan kepentingan mayoritas warga Muslim di Malaysia," sambungnya.

Dr Devaraj mengungkapkan, studi-studi memperlihatkan bahwa ketimpangan kesejahteraan makin memburuk, bahkan lebih buruk dibandingkan dengan kondisi ketika Kebijakan Ekonomi Baru diterapkan 30 tahun yang lalu.

Mantan akademisi, Chandra Muzaffar yang sekarang memimpin LSM International Movement of Just World berpendapat, ada kalangan di masyarakat yang terpengaruh oleh munculnya kecenderungan memojokkan Islam dan umat Islam yang dilakukan oleh media-media Barat.

"Banyak propaganda Kristen dan Zionis yang masuk ke negara kita," kata Chandra yang juga mengkhawatirkan munculnya tudingan-tudingan terhadap Islam dan ajaran Islam, bahkan dari kalangan umat Islam sendiri di Malaysia.

Chandra menyarankan solusi untuk meredakan ketegangan antar agama dan etnis, yaitu dengan meyakinkan komunitas Muslim bahwa agama mereka adalah bagian integral dari identitas Malaysia. Begitu juga dengan kalangan non-Muslim, mereka harus diyakinkan akan diperlakukan sama dan adil.

Analis politik Dr Shamsul Amri Baharuddin menilai kasus di Ipoh adalah perbuatan sekelompok orang yang ingin memanfaatkan umat Islam dengan menggulirkan isu pemurtadan.

"Mungkin ada kelompok kecil Muslim dari kalangan menengah dan berpendidikan, yang punya visi serta program, dengan akses komunikasi dan informasi yang mereka miliki, sengaja memanipulasi dengan memanfaatkan sensitivitas komunitas Muslim terhadap isu pemurtadan," kata Dr Shamsul yang juga mengepalai Institut Dunia dan Peradaban di Universitas Nasional Malaysia. (ln/iol/aljz)