Pro Kontra Abaya Piala Dunia di Saudi

Demam piala dunia sudah merambah seluruh dunia. Di Arab Saudi, para desainer abaya–baju khas perempuan Arab yang bentuknya panjang dan longgar, biasanya berwarna hitam–merancang abayanya dengan tema Piala Dunia.

Rania Khogaer, desainer dan dosen di Universitas Abdulaziz adalah salah satu perancang busana yang memelopori abaya Piala Dunia di Saudi. "Rancangan abaya Piala Dunia sama saja dengan membuat abaya biasa. Saya membuat rancangannya untuk memenuhi permintaan mahasiswa-mahasiswa saya, anak-anak saya dan teman-teman mereka," ujar Rania.

"Abaya Piala Dunia saya tetap Islami dan tradisional, warnya kebanyakan hitam dan menutup seluruh badan kecuali muka, telapak kaki dan tangan. Saya cuma menambahkan bendera dan logo tim-tim sepakbola yang ikut Piala Dunia," paparnya.

Ia berharap abaya Piala Dunianya menjadi trend busana selama pelaksanaan Piala Dunia di Afrika Selatan. Apalagi banyak kafe dan mall di Saudi yang menggelar acara nonton bersama pertandingan-pertandingan Piala Dunia lewat siaran televisi. "Dengan adanya acara-acara itu, banyak keluarga yang akan datang ke kafe atau ke mall dan akan meriah sekali jika mereka mengenakan abaya Piala Dunia saat nonton bersama pertandingannya," kata Rania.

"Dulu, banyak remaja putri dan kaum perempuan yang mengenakan berbagai asesoris sepakbola yang sebenarnya untuk laki-laki. Bukankah lebih baik jika kita membuat asesoris olahraga khusus untuk perempuan," lanjut Rania yang mengaku sudah kebanjiran pesanan.

Ia mengungkapkan, meski Arab Saudi tidak lolos kualifikasi dalam Piala Dunia, ia tetap membuat abaya berlogo tim sepakbola Saudi karena banyak pelanggannya yang mengatakan bahwa mereka akan mengenakan abaya berlogo tim sepakbola Saudi.

Namun kehadiran abaya Piala Dunia ini menimbulkan pro dan kontra di tengah publik Saudi dan kalangan perancang busana sendiri, terkait masalah batasan budaya dan agama. Desainer Saudi Sarah Ahmad Mazhar mengatakan, sulit baginya melihat para gadis mengenakan abaya Piala Dunia di mall-mall dan cafe karena akan menarik perhatian kaum lelaki dan berpotensi mendorong munculnya tindakan pelecehan di mall dan cafe-cafe. Selain itu, abaya dengan logo tim sepakbola dunia dikhawatirkan akan memicu persaingan antara para pendukung tim.

"Saya tidak tertarik untuk membuat abaya Piala Dunia. Saya pikir para perancang busana harus menghormati norma-norma yang berlaku di masyarakat kita. Pelanggan saya kebanyakan berusia 30 tahun keatas dan saya pikir mereka tidak akan tertarik mengenakan abaya semacam itu. Lagipula, sepakbola adalah olahraga untuk laki-laki bukan untuk perempuan," sanggah Sarah Ahmad.

Tuhami Al-Arabi, desainer yang dikenal dengan desain abaya modernya juga tidak mau membuat abaya Piala Dunia. "Abaya seperti itu tidak akan diterima oleh masyarakat Saudi, karena terlalu mencolok dan berlebih-lebihan. Abaya dirancang untuk menutup seluruh tubuh bukan untuk menunjukkan trend tertentu," tukasnya.

Sementara, pedagang abaya Mohammed Mansour menyatakan tidak mau menjual abaya Piala Dunia. "Saya tidak akan pernah menjualnya di toko saya karena menurut saya tidak pantas untuk keluarga kalangan kelas menengah di Saudi," ujar Mansour.

Tapi berbeda dengan Donia Tashkandi, seorang remaja putri Saudi yang menjagokan tim Brazil. "Sejak kecil saya suka sepakbola. Saya selalu mendukung tim Brazil di setiap Piala Dunia dan saya bisa menyaksikan pertandingannya di cafe bersama ayah saya. Karena sekaran saya sudah remaja, saya akan mendukung tim favorit saya dengan mengenakan abaya (Piala Dunia) ini," tandasnya. (ln/arabnews)