Raja Maroko Pimpin Revolusi Keagamaan Hijau

Secara diam-diam namun pasti, Raja Maroko Muhammad VI yang juga bergelar Amirul Mukminin, tengah mengembuskan angin segar revolusi di atas ladang subur agama Islam. Raja Muhammad, yang pada Kamis (23/7) kemarin merayakan sepuluh tahun masa kepemimpinannya, memang dikenal memiliki perhatian lebih terhadap sisi keagamaan.

Sejak tahun 2004 silam, Raja Muhammad mulai melancarkan beberapa program reformasi keagamaan di negerinya pasca marak dan menaiknya mileu "Islam garis keras" di dalam negerinya. Rupanya, Raja Muhammad sadar jika radikalisme Islam, atau dalam agama apapun, adalah bumerang yang justru akan menghancurkan Islam itu sendiri.

Selain itu, Raja Muhammad juga menginsafi jika identitas keagamaan sebuah negara juga akan mempengaruhi posisi negara tersebut, terlebih lagi jika kecenderungan masyarakat negara itu terhadap agama sangat kuat. Jika tidak diarahkan dengan benar, maka dengan sendirinya negara yang akan terepotkan, bahkan terlukai oleh praktik-praktik dan identitas keagamaan rakyatnya yang radikal, atau juga menyimpang.

Untuk itulah, beberapa langkah reformasi yang strategis dan cerdas pun digalakkan oleh sang Raja, dan dibawah pengawasannya secara langsung, semisal merestrukturalisasi pejabat di kementrian agama Islam, mereformasi undang-undang yang berhubungan dengan tempat-tempat ibadah, mereformasi dan memajukan sektor pendidikan keagamaan, juga mendirikan Dewan Sains Tinggi untuk Fatwa yang bertugas mengontrol perkembangan fatwa-fatwa syariah di negerinya.

Lembaga yang terakhir kali disebutkan, misalnya, pada tahun 2008 silam merilis fatwa yang membatalkan fatwa salah seorang Syaikh Maroko yang memimpin sebuah Jam’iyyah Dar al-Qur’an di Marakesh, Maroko Tengah, yang memfatwakan bolehnya menikahi gadis di bawah umur 10 tahun di masa sekarang ini. Dewan Tinggi Fatwa pun mencabut fatwa tersebut dan "menghakimi" sang Syaikh.

Di tahun yang sama (2008), Raja Muhammad juga menjalankan agenda reformasi para imam masjid dan guru agama. Program ini juga menjamah pada warga Maroko yang hidup di luar negeri, utamanya Eropa. Raja Maroko pun mendirikan sekaligus menjadi penasihat utama "Majlis Ulama Maroko di Eropa".

Atau apa yang baru saja digelar oleh pemerintahan negeri ujung barat Afrika Putih ini pada Juni silam, ketika Raja Muhammad menggelar program pembibitan dan penggodokan ribuan imam masjid dari seluruh pelosok Maroko.

Menteri Keagamaan Maroko, Ahmad Taufiq, menegaskan jika negerinya memiliki sekitar 45 ribu imam masjid. Namun, 82 persen dari sekian banyak jumlah itu dinyatakan tidak memiliki kapasitas pendidikan keagamaan yang layak.

"Mereka kebanyakan hanya hafal al-Qur’an dan tahu sedikit saja tentang masalah keislaman," tutur Taufiq.

Pendidikan Islam, sistem, dan kurikulumnya adalah kunci yang sangat menentukan dari perkembangan keislaman di suatu negara. Atas pandangan ini pula, Raja Muhammad memperbaiki sistem pendidikan di al-Ma’had al-Ali li ad-Dirasat al-Islamiyyah (Institut Studi Islam) Dar al-Hadits al-Husayniyyah, sebuah lembaga keagamaan yang sudah ada sejak ratusan tahun silam dan memang khusus mengajarkan ilmu-ilmu keislaman.

Apa yang telah dilakukan oleh Raja Muhammad ini sedikit banyak membuahkan hasil. Maroko pun, yang terletak di ujung barat Afrika Utara atau Afrika Putih dan dijuluki sebagai "negara separuh Timur dan separuh Eropa itu, tetap mampu menjaga dan mengembangkan tradisi keislaman dengan baik, dan memiliki corak keislaman yang baik pula. (L2/aby)