Ramadhan di Serbia : Waktunya Untuk Rekonsiliasi

Setelah bertahun-tahun dilanda perang saudara di wilayah Balkan, bulan suci Ramadhan telah membawa semangat rekonsiliasi dan persatuan bagi minoritas Muslim Serbia.

"Memang sulit, namun hal ini membawa ke arah persatuan,"Esad Zaimovic (45 tahun) seorang bankir – mengatakan kepada kantor berita Jerman DPA pada hari Kamis kemarin (3/9).

Begitu bulan puasa dimulai di wilayah Balkan dua minggu lalu, kehidupan disana beralih ke irama nuansa Ramadhan. Masjid penuh sesak dengan jamaah yang melakukan sholat Tarawih.

"Ini adalah bagian dari kebangkitan nasional kami," kata Zaimovic.

"Hal seperti ini menyebar dari seluruh daerah perkotaan dan pedesaan."

"Kami juga mendapat rasa hormat, simpati dan bahkan dukungan di kota-kota (yang kebanyakan beragama Kristen Ortodoks) seperti di Podgorica dan Belgrade, di mana lebih banyak umat Kristiani yang melaksanakan puasa," kata Zaimovic.

Serbia memiliki minoritas Muslim hampir setengah juta jiwa, sebagian beretnis Bosnia dan Albania.

Besok harus lebih baik

Umat Islam berharap dari fajar sampai terbenamnya matahari di bulan suci Ramadhan ini akan mengganti halaman penderitaan mereka di Serbia.

"Perang telah banyak menghabiskan biaya, terlalu banyak biaya yang dikeluarkan,: kata Mufti Muhamed Jusufsphic.

Bekas wilayah Yugoslavia ini jatuh ke kancah perang saudara yang mematikan sejak menjadi negara-negara yang terpisah setelah menjadi bekas negara Komunis.

Perang ini berkarakteristik sebagai kejahatan perang massal dan pembersihan etnis, yang puncaknya terjadinya perang Bosnia pada tahun 1992 yang lalu.

Setidaknya 200.000 orang terbunuh dan ribuan lagi terusir dari rumah dan tanah mereka dalam perang pada tahun 1992-1995, yang dipicu pecahnya negara-negara bekas Yugoslavia ini.

Hampir 20.000 Muslimah diperkosa secara sistematis selama perang tersebut.

Bosnia menuduh Serbia menjadi dalang meluasnya ‘pembersihan etnis’ terhadap umat Islam Bosnia dan Kroasia selama perang berlangsung.

Perang juga telah menjadikan Kosovo merdeka, namun hal ini memicu sentimen anti Islam di Serbia.

"Keinginan baik sebelumnya menjadi goyah, dan orang-orang membiarkan diri mereka sendiri untuk membakar masjid-masjid untuk mencoba dan menjaga perpecahan," kata Jusufspahic sambil merujuk peristiwa pembakaran masjid di Beograd pada tahun 2004.

Bagaimanapun masih ada harapan untuk masa depan yang lebih baik.

"Setelah peristiwa kegelapan tahun 1990-an lalu, akhirnya ada harapan bahwa masa depan akan menjadi lebih baik," ujar Jusufspahic(fq/iol)