Satu Bulan di Kabul

Wartawan Al Jazeera, Hamish Macdonald, menghabiskan waktunya selama 1 bulan di Kabul, Afghanistan dalam masa kritis kependudukan AS

12 Februari 2009, ke Kabul melalui Provinsi Kunduz:

Afghanistan adalah adalah salah satu cerita besar di dunia sekarang ini, tapi bagi orang Afghan kehidupan berlangsung sama setiap harinya. Orang masih tetap berbelanja, pergi ke sekolah dan terus berusaha memperbaiki dirinya. Saya menghabiskan waktu selama 2 hari untuk mencapai Kabul karena segala rintangannya; ban mobil yang berulang kali diganti karena meletus, menghadapi polisi perbtasan dan badai salju yang dahysat.

Sesampainya di Kabul, saya mencoba mencari rute yang terus dipakai oleh tentara AS dan NATO. Saya jadi tahu, bahwa ternyata tentara-tentara ini sangat ketakutan akan Taliban, terutama ketika melintasi Jalalabad dari Pakistan. Sepanjang jalan, saya melihat ribuan truk yang membawa tentara dan suplai bahan makanan dari AS, dan seketika suasana perang sudah terasa dingin mencekam. Truk-truk melesat cepat menembus salju yang murung.

Di sisi lain jalan, para petani Afghan tampak tenang bertanam. Domba-domba mereka berkumpul tak jauh dari mereka, juga tertup salju.

11 Februari 2009, Kabul, sebuah kota yang diduduki:

Sulit menjelaskan kondisi sebuah kota yang sedang diisi oleh pendudukan. Masyarakat Kabul tampaknya sudah sangat membiasakan diri jika ada serangan. Satu-satunya yang menjadi kewaspadaan masyarakat Kabul adalah, dimana ada tentara AS, maka tidak akan lama lagi, Taliban akan keluar dan kemungkinan kontak senjata akan terjadi. Berbeda dengan orang yang berada di pemerintahan Afghan yang sepanjang hari digerogoti kekhawatiran akan sentimen rakyatnya sendiri.

Tentara AS tinggal di Kabul dengan mata yang selalu terbuka. Mereka tampaknya sadar, bahwa bahaya buat mereka ada di mana-mana. Sementara ribuan ton bahan makanan dan peralatan perang, begitu saja diturunkan oleh tentara AS di tengah-tengah kehidupan orang-orang Kabul.

Satu lagi hal yang membuat saya terbelalak adalah, ketika kami akan mewawancarai Mullah Zaif, mantan DutaBesar Taliban untuk Pakistan yang sekarang ditahan di sebuah rumah di Kabul, ia duduk di sebuah kursi dan mengeluarkan iPhone. iPhone? Apa tidak salah? Sepanjang berkuasa, Taliban melarang semua penggunaan teknologi modern. Tak ada televisi, komputer, televisi ataupun musik. Sekarang, Mullah Zaif tengah memegang semua itu dalam iPhone!

Saya bertanya kepadanya tentang barangnya itu, dia tersenyum, "Dengan memakai benda ini, Internet-nya sangat cepat."

Saya mengernyitkan kening tentu saja. Dia kemudian menyuruh saya untuk mendekat, "Benda ini," ujarnya kemudian, "menghubungkan kami yang tercerai berai karena perang dengan AS. Kita memasuki era perang dengan benda seperti ini sebagai salah satu senjatanya, sebagai pesan dan progpaganda juga."

Saya mengangguk-anggukan kepala. Sekarang saya baru mengerti, ketika melaporkan kondisi Afghanistan, saya selalu bertanya bagaimana mendapatkan informasi yang akurat dan cepat tentang suatu hal. Sekarang, kita mempunyai berbagai sisi analisis dan berita tentang perang AS di Agfhanistan. Saya memandangi senja yang makin jatuh. Dingin terasa menyentuh hati. (sa/aje)