Sebuah Tragedi Teror Terhadap Kristian

Tanpa henti, mereka menyebutnya "teroris," dan memukulinya begitu keras hingga ia berdarah. Itu semua hanya karena dia seorang Muslim.

Mimpi buruk ini tidak terungkap di ruang penyiksaan resmi. Ini terjadi di lorong-lorong sekolah menengah Staten Island.

Selama tahun ajaran 2009-10 di Markham Intermediate, Kristian mejalani sembilan bulan penyiksaaan dari teman sekelasnya hanya karena keyakinan agamanya.

Baik di kantin ataupun kelas, semua orang menyakitinya. Kepala dan selangkangannya ditendang begitu keras hingga ia terguncang.

Satu hari polisi menangkap empat remaja—tiga dari mereka berusia 14 dan satunya berusia 15—yang diduga mengejek agama yang dianut Kristian, 16.

"Mereka memukul saya. Mereka meludahi wajah saya. Mereka menendang saya hingga jatuh ke lantai. Kaki mereka menekan saya," katanya, seraya memohon nama terakhirnya dirahasiakan. "Dan ketika mereka melakukan itu, mereka tertawa-tawa, dan terus berkata, ‘Kau teroris kepa**t, Muslim kepa**t,’"

Sekali waktu, setelah sebuah tendangan keras mampir di pangkal pahanya, ia melihat darah dalam urin-nya.

Para tersangka penganiayaan itu telah ditangkap Minggu lalu dan dituduh sebagai remaja yang melakukan penyerangan ditambah dengan pelecehan kejahatan rasial, demikian menurut keterangan polisi.

Kristian, yang lahir di Amerika Serikat setelah orang tuanya beremigrasi dari Trinidad, mengatakan anak-anak itu berkata kepadanya, "Kamu datang ke sini untuk membakar gedung-gedung kami. Orang-orang tidak dapat mendapatkan pekerjaan karena kamu."

Kristian mengalami neraka itu selama setahun sekolah penuh. Ia begitu takut memberitahu siapa pun tentang penganiayaan itu. Ia bahkan menyembunyikan luka dan memar dari orang tuanya. Kristian berpikir bahwa ketika ia meninggalkan Markham di kelas sembilan, mimpi buruknya akan berakhir. Ketika ia masuk Port Richmond HS bulan lalu, ternyata teror masih berlanjut kepadanya.

Di sana ada dua orang yang juga akan menganiayanya. Namun kemudian, Kristian berpikir lain. "Saya tidak bisa melalui tahun ini seperti ini lagi," katanya.

Kristian mengatakan kepada orang tuanya, yang kemudian menghubungi sekolah, dan satu minggu kemudian, para preman itu ditangkap.

"Dia adalah seorang anak Amerika yang normal," kata ayah Kristian. "Dia nonton TV, menonton film, bermain komputer—hal-hal biasa. Tapi tiba-tiba ada waktu dia marah, dan kami tidak tahu mengapa itu terjadi padanya. Kami tidak tahu apa yang terjadi ketika itu."

Jonathan D’Agostino, seorang pengacara bagi keluarga Kristian, mengatakan guru dan administrator di Markham telah gagal melindunginya dari penganiaya bahkan setelah menyaksikan beberapa perilaku itu. D’Agostino mengatakan keluarga Kristian sedang mempertimbangkan mengajukan gugatan perdata terhadap Departemen Pendidikan kota.

Sementara itu, Kristian melihat ke depan untuk memulai sebuah sekolah baru.

"Saya merasa baik," kata Kristian, yang ingin menjadi teknisi komputer. "Saya berharap saya bisa kembali menjadi saya yang dulu karena sekarang saya lihat semuanya terbuka." (sa/nypost)