Warga Muslim Tolak Usulan Pembagian Wilayah Otonomi Muslim di Mindanao

Gubernur dan warga Muslim di Mindanao mengecam usulan yang diajukan ke parlemen Philipina untuk membagi wilayah yang menjadi tempat bagi mayoritas warga Muslim itu.

Gubernur Mindanao Zaldy Ampatuan pada Islamonline mengatakan, usulan itu bertentangan dengan apa yang menjadi impian warga Muslim Mindanao. Usulan itu hanya akan memecah belah, bukan mempersatukan warga Mindanao.

Usulan pemecahan wilayah itu disampaikan oleh anggota parlemen dari kalangan Muslim sendiri yaitu Gerry Salapuddin perwakilan dari provinsi Basilan dan Hussin Amin perwakilan dari provinsi Sulu. Tujuan dari usulan itu untuk membentuk kembali kesultanan Sulu yang pernah jaya berkuasa di selatan Philipina.

"Sejarah panjang penduduk kepulauan Sulu telah meninggalkan bekas yang tidak terpisahkan dari akar budaya dan tradisi mereka. Sementara mereka memeluk agama yang sama seperti orang-orang Marano, Maguindanao dan warga Muslim lainnya di Mindanao, penduduk Sulu adalah suku yang memiliki bahasa, kebiasaan, tradisi dan pola pikir tersendiri," demikian bunyi usulan itu.

Jika usulan itu dibahas dan akhirnya disetujui, maka wilayah otonomi Muslim Mindanao (ARMM) akan dibagi menjadi wilayah provinsi Sulu, Tawi-Tawi dan Basilan. Selama ini ARMM terdiri dari wilayah Lanao del Sur, provinsi Maguindanao dan kota Islam Marawi.

Wilayah Mindanao di selatan Philipina ini merupakan wilayah yang kaya sumber mineral. Di sini terdapat kurang lebih 5 juta warga Muslim.

Gubernur Ampatuan menegaskan, sebelum rencana itu diajukan ke parlemen seharusnya dikonsultasikan dulu dengan semua lapisan masyarakat di Mindanao. "Warga di wilayah otonomi Muslim Mindanao, para pemimpinnya, organisasi konferensi Islam dan lain-lainnya seharusnya diajak berdialog dulu sebelum wacana ini digulirkan. Jika memang itu yang diinginkan semua warga di sini, kami akan mendukungnya," jelas Ampatuan.

Lebih lanjut ia mengungkapkan, wacana pembagian wilayah Mindanao tidak sesuai dengan semangat undang-undang yang disahkan pada Agustus 1989, yang menjadi dasar pembentukan wilayah otonomi itu. Tujuan undang-undang itu, memberikan kebebasan bagi warga Muslim Mindanao untuk mengatur wilayahnya sendiri berdasarkan keyakinan agama mereka.

Sejak era tahun 70an, wilayah Mindanao dilanda konflik dan pertikaian yang panjang. Dengan adanya undang-undang itu, saat ini warga Muslim Mindanao bisa menikmati kehidupan yang lebih baik, memiliki pemerintahan dan dewan legislatif sendiri.

Motif Politik

Seorang warga di Mindanao Caosur Zoudy menduga usulan pembagian wilayah Mindanao itu sarat dengan kepentingan politik dibandingkan dengan keinginan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat di wilayah tersebut.

"Bagi saya, kelihatannya wacana itu sengaja digulirkan untuk merebut kontrol wilayah kami dari Gubernur Ampatuan yang tidak mendapat dukungan dari Salapuddin dan Amin dalam pemilihan tahun kemarin. Ini semua pasti bermotifkan politik," katanya.

Warga lainnya Yusuf Karim, seorang mahasiswa menyatakan, politik atau bukan, ia meyakini bahwa para pemimpin wilayah Mindanao harus memfokuskan diri pada penyediaan layanan bagi masyarakat daripada berdebat soal pembagian wilayah.

"Apa yang kita butuhkan sekarang? apakah membagi wilayah ini akan membuat hidup kita lebih baik? apakah kita akan punya makanan, pakaian, rumah dan obat-obatan? Persoalan ini tidak mudah. MILF masih mengangkat isu-isu itu. Kita masih harus menunggu hasil dari negosiasi mereka. Banyak yang bermain dalam masalah ini. Kita seharusnya tidak menyibukkan diri sendiri dengan wacana semacam ini," papar Karim.

Haji Najim, ayah dua anak mengungkapkan, "Sangat tidak praktis jika kita meributkan masalah ini, berapa biaya yang akan dihabiskan untuk hal ini?" Menurutnya, dana itu sebaiknya dimanfaatkan untuk membangun perumahan dan pemenuhan kebutuhan hidup warga.

"Kami sudah sering menjadi korban bom dan senjata. Saya berharap para pemimpin menyadari bahwa apa yang kami butuhkan adalah perdamaian dan kesejahteraan, tidak ada yang lain," sambung Haji Najim penuh harap. (ln/iol)