Eramuslim.com – Dampak kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump mulai memunculkan kekhawatiran terhadap prospek ekonomi Indonesia. Dalam laporan Economic Outlook edisi Juni 2025, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 4,9% menjadi 4,7%.
Penurunan ini mencerminkan meningkatnya kerentanan Indonesia terhadap ketidakstabilan perdagangan global. Selain OECD, sejumlah lembaga besar lainnya seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Indonesia (BI) juga menurunkan proyeksi pertumbuhan Indonesia, mencerminkan ketidakpastian global yang terus berlanjut dan dampaknya terhadap negara-negara berkembang.
Ini merupakan kali kedua OECD memangkas proyeksi ekonomi Indonesia tahun ini. Penurunan kali ini dikaitkan dengan melemahnya harga komoditas dan meningkatnya risiko perdagangan global. Dalam laporannya, OECD menyebut bahwa revisi ini disebabkan oleh “pertumbuhan ekspor dan konsumsi yang moderat,” diperparah oleh penurunan permintaan global dan harga komoditas yang melemah.
Penyesuaian proyeksi ini sejalan dengan prediksi yang dirilis oleh BI, Bank Dunia, dan IMF, yang juga menetapkan angka pertumbuhan di kisaran 4,7% untuk tahun depan.
Efek Tarif Trump: Perdagangan Tertekan, Rupiah Bisa Terdepresiasi
Kebijakan tarif baru yang dirancang pemerintahan Trump berpotensi mengguncang pasar global, terutama negara-negara yang mengandalkan ekspor seperti Indonesia. Jika diterapkan, tarif ini bisa mengurangi permintaan terhadap ekspor utama Indonesia, dan memperburuk neraca perdagangan nasional.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam laporan yang dikutip Bisnis.com, menyatakan, “Pertumbuhan ekonomi global melambat, terutama di Tiongkok, Amerika Serikat, dan India. Risiko inflasi global juga tinggi, membuat banyak bank sentral mempertahankan suku bunga tinggi.”
Tarif yang lebih tinggi dan perlambatan global bisa memicu keluarnya arus modal asing dari Indonesia. Ini memberi tekanan lebih lanjut terhadap nilai tukar rupiah, yang sudah berada di bawah tekanan. Dalam kondisi ini, kebijakan moneter memiliki ruang yang terbatas untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional.
Di saat bersamaan, Indonesia juga menghadapi perlambatan ekonomi Tiongkok, mitra dagang terbesar negara ini. Turunnya permintaan dari Tiongkok terhadap komoditas utama Indonesia seperti batu bara, minyak sawit, dan karet menambah tekanan pada pendapatan ekspor.
OECD menyebutkan bahwa “dukungan fiskal direncanakan akan dikurangi secara bertahap, sementara kebijakan moneter akan dibuat lebih akomodatif untuk menjaga momentum pertumbuhan.” Namun, kombinasi dari tarif global dan perlambatan Tiongkok membuat ekonomi Indonesia semakin rentan terhadap guncangan eksternal.
BI memang memproyeksikan kisaran pertumbuhan 2025 antara 4,6%–5,4%, namun prospeknya masih dianggap rapuh.
Ekonom Bhima Yudhistira menyarankan agar pemerintah bersikap realistis dengan merevisi asumsi makro dalam APBN 2025. “Tidak perlu ngotot mempertahankan target pertumbuhan 5,2%. Lebih baik disesuaikan agar lebih realistis,” ujarnya.
Ketidakpastian perdagangan global dan dampak tarif Trump semakin membayangi prospek ekonomi Indonesia dalam jangka pendek. Dengan pemangkasan proyeksi dari berbagai lembaga internasional, Indonesia kini menghadapi risiko eksternal yang semakin besar.
Untuk menghadapi tantangan ini, para pembuat kebijakan disarankan untuk menyesuaikan asumsi makro, memperluas diversifikasi ekspor, menjaga kehati-hatian fiskal, dan menerapkan stimulus yang lebih terarah. Jika tidak, Indonesia berisiko gagal mencapai target pertumbuhan di tengah ketidakpastian ekonomi global yang makin kompleks.
Sumber: InvestIndonesia.co